NASIONALISME ARAB, PRAKTEK HUBUNGAN INTRA-ARAB DAN KONFLIK ARAB-ISRAEL

RYANTORI
(Direktur Eksekutif ISMES)

Salah satu  wilayah yang menjadi fokus perhatian di dalam studi hubungan internasional (HI) adalah wilayah Timur Tengah.  Satu hal unik yang membedakan studi wilayah ini dengan studi-studi wilayah lain di dalam HI adalah adanya satu obyek khusus yang secara berkala terus mendapat perhatian yang cukup serius.  Dimulai semenjak akhir dekade 1940-an—bertepatan dengan masa-masa awal perkembangan studi HI di dunia akademik internasional—hingga saat ini.  Obyek khusus itu tidak lain adalah konflik Israel dengan Palestina pada khususnya dan negara-negara Arab lainnya pada umumnya.  Lebih jauh, menarik untuk melihat apa yang dinyatakan oleh John Laffin di dalam bukunya The Arab Mind: A Need For Understanding (1975) sebagai berikut ini:

“Since 1948 it has been impossible to study the Arab world without reference of Israel.  To write a book about the Arab Mind and omit any mention of the influence of Israel on that mind would be like writing a history of Britain and omitting the monarchy.  The picture would be as incomplete.”

Israel—yang menempati wilayahnya yang sekarang ini yang dimulai semenjak tanggal 14 Mei 1948 dengan memproklamirkan berdirinya negara Israel setelah berhasil merampas sebagian wilayah milik bangsa Palestina ketika itu—dapat dikatakan merupakan musuh bersama seluruh negara-negara Arab di wilayah Timur Tengah ditambah Iran dan Turki.  Keberadaan Israel yang tersendiri seperti itu, namun bisa tetap eksis sampai saat ini, menjadikan masalah ini terus-menerus menjadi bahan perhatian dunia internasional.

Dari fokus masalah konflik Arab-Israel tersebut, berbagai cabang permasalahan yang terkait dengannya pun muncul dan berkembang menjadi suatu hal yang penting, yang terkadang dapat memberikan penjelasan yang diperlukan dalam konteks konflik Arab-Israel.  Sisi pembahasannya terkadang dilihat berdasarkan hubungan Amerika Serikat-Israel yang berlangsung dua arah; atau hubungan antara Palestina dengan Israel, baik secara diplomatik maupun secara militer; atau bahkan berdasarkan situasi dan kondisi  geopolitik dan geostrategis dari masing-masing negara-negara Arab yang memang memiliki beberapa perbedaan; atau yang lainnya.

Terkait dengan poin terakhir, menarik untuk mereview tulisan Roger Owen mengenai “Arab Nationalism, Arab Unity and the Practice of Intra-Arab State Relations” di dalam buku yang berjudul Sociology of Developing Societies: Middle East.

PEMBAHASAN
Melalui judul tulisannya ini, kesan pertama yang dapat ditangkap adalah bahwa Owen mencoba mengangkat beberapa isu utama dalam studi Timur Tengah, yaitu nasionalisme Arab dan persatuan Arab serta kemungkinan hubungannya dengan pelaksanaan kedua konsep itu di dalam hubungan-hubungan antarnegara Arab.  Pendekatan yang utama yang digunakannya di dalam analisisnya ini adalah pendekatan historis-analitis, dimana hal ini terlihat dari beberapa subjudul yang satu dengan lainnya saling berkesinambungan, baik secara periodik maupun secara materi.

Pada intinya Owen di dalam tulisannya ini mengajukan tiga faktor internal yang sangat penting yang mempengaruhi praktek hubungan intranegara-negara Arab.  Mereka adalah Arabisme, Israel dan integrasi ekonomi.

Arabisme (ke-Araban) di sini adalah peradaban Arab yang ditandai dengan budaya, agama, bahasa, dan sebagainya yang membedakan bangsa Arab dengan bangsa lainnya.  Arabisme ini sempat terpudarkan ketika bangsa-bangsa Arab terjatuh ke dalam masa kolonialisme.  Muncul ketika itu konsep nasionalisme dalam arti sempit (wathoniyya) yang digunakan untuk menghadapi kolonialisme di setiap wilayah Arab.  Terbaginya wilayah-wilayah ini tidak terlepas dari runtuhnya Kekhalifahan Turki Ustmaniyah yang sebelumnya adalah penguasa wilayah-wilayah tersebut.

Namun, Yaacov Shimoni dan Evyatar Livene dalam bukunya yang berjudul Political Dictionary of  the Middle East in the Twentieth Century menyatakan bahwa setelah negara-negara Arab tersebut memperoleh kemerdekaannya, konsep nasionalisme tersebut—yang nota bene berakar dari kebudayaan Barat dan diperkenalkan oleh dua penulis Kristen Libanon: Butros Bustani dan Nazif Yaziy serta dibentuk filsafat ideologisnya oleh Michael Aflak, seorang yang berpendidikan guru dan dari kalangan Kristen Ortodoks, dengan penekanan pada ke-Araban yang telah ada sepanjang sejarah, bukan keIslaman—ternyata berpotensi memecah bangsa Arab sebagai sebuah bangsa yang satu.  Masing-masing negara lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya.

Hal seperti ini ternyata disadari oleh beberapa negara seperti Mesir dan Syria.  Mereka beranggapan bahwa untuk menjadi kuat, negara-negara Arab harus bersatu.  Maka mereka memelopori berdirinya Republik Persatuan Arab pada tahun 1958.  Kemudian hal ini diteruskan dengan unity talks pada tahun 1963 dengan melibatkan Irak dan Yaman Utara.  Sebelumnya pada tanggal 22 Mei 1945 tujuh negara Arab juga telah memelopori berdirinya Liga Arab.  Namun, kedua upaya ini tidak berjalan dengan baik karena terbukti masing-masing negara belum bisa menempatkan kepentingan nasionalnya di bawah kepentingan bersama.

Meskipun begitu, rasa kebersamaan di antara mereka tetap ada.  Hal ini karena mereka merasa mempunyai satu ancaman bersama, yaitu zionis Israel.  Walaupun pendekatan yang dijalankan berbeda-beda (diplomasi, militer, dsb.), namun pada intinya mereka berada di dalam satu barisan menentang zionis Israel.  Belum lagi dukungan-dukungan yang mereka berikan terhadap warga Palestina, baik secara fisik maupun moral.

Secara ekonomi, dalam hal ini pembentukan integrasi ekonomi melalui grup-grup subregional juga memberikan gambaran mengenai praktek hubungan intranegara Arab.  Owen dalam hal ini memberikan kontribusi yang penting dengan memberikan catatan mengenai empat tahap fase ekonomi yang dilalui oleh negara-negara Arab selama ini.  Dalam menganalisa hal ini ia juga mengedepankan satu asumsi penting. Ada satu asumsi mendasar yang berlaku semenjak periode awal kemerdekaan bagi negara-negara Arab yaitu bahwa dorongan menuju kerjasama politik yang lebih besar di antara negara-negara Arab seharusnya diikuti oleh dorongan menuju penyatuan ekonomi yang lebih besar pula.

Satu hal penting yang bisa dilihat dari pola hubungan ini adalah walaupun pembentukan kerjasama ekonomi subregional tersebut adalah untuk meningkatkan roda perekonomian masing-masing negara, namun ternyata hal ini tidak juga dapat meredakan tingginya tingkat pengedepanan kepentingan nasional setiap negara.  Satu kasus yang bisa dikedepankan adalah mengenai ACC (Arab Co-operation Council) yang terdiri dari Mesir, Irak, Yordania, dan Yaman Utara.  Ketika Irak menginvasi Kuwait, kelompok inipun mengalami keruntuhan karena tingginya tingkat intensitas politik diantara anggotanya, terutama terhadap Irak.

Melihat adanya situasi dan pola hubungan yang sangat tidak biasa diantara negara-negara Arab, walaupun mereka mengakui memiliki akar budaya yang sama, membuat Owen pada subjudul terakhir dari bahasannya mempertanyakan apakah bangsa Arab mempunyai satu tatanan (order) tertentu?  Ia mengakui untuk menjawab hal tersebut tidak mudah.  Diperlukan analisa-analisa yang komprehensif dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi serta faktor-faktor yang berpengaruh yang ada di Timur Tengah.  Pada titik ini ia kembali memberikan kontribusi dengan mencoba memberikan empat gambaran penting untuk melihat pola hubungan intranegara Arab secara keseluruhan.

PENUTUP
Melalui tulisan Owen ini dapat dilihat suatu alur analisis yang cukup jelas untuk melihat praktek/pola hubungan intranegara-negara Arab.  Dari sisi internal ia mengangkat faktor-faktor kearaban (arabisme) yang memang mewakili budaya masyarakat pada setiap negara arab, peran zionis Israel terutama dalam hubungannya dengan konflik Palestina-Israel, serta yang terakhir adalah faktor pembentukan integrasi ekonomi melalui grup-grup subregional.

Dari sisi eksternal ia melihat besarnya peran dari negara-negara di luar kawasan terutama yang menyandang predikat negara superpower, ditambah keberadaan Masyarakat Eropa di dalam memberikan pengaruh ke dalam pola-pola interaksi di Timur Tengah, khususnya yang berkenaan dengan interaksi intranegara-negara Arab.

Satu hal penting yang terbukti—dan diperkuat oleh tulisan Owen ini adalah bahwa faktor Israel dilihat dari sisi manapun akan selalu terkait dengan pembahasan di dalam studi wilayah Timur Tengah ini.  Yang umum dilakukan biasanya adalah menempatkan faktor Israel ini sebagai fokus bahasan.  Namun, kali ini Owen menjadikan faktor Israel ini sebagai salah satu faktor untuk menganalisa fokus utamanya, yaitu praktek interaksi intranegara-negara Arab. ***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*