Wirawan Sukarwo
Indonesian Society for Middle East Studies
Israel melancarkan serangan brutal ke Jenin awal Juli lalu dengan menurunkan 150 kendaraan lapis baja dan 1.000 orang tentara. Di akhir serangan yang berlangsung selama 48 jam itu, ada 12 korban tewas di pihak Palestina dengan 4 orang di antaranya masih remaja. Sementara 120 orang lainnya masih dalam perawatan karena luka-luka. Serangan ini adalah yang terbesar terhadap Jenin sejak intifadha kedua pecah pada tahun 2002 lalu.
Kepentingan Para Pemukim Ilegal
Pemerintahan Israel di bawah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu sering disebut sebagai rezim kekuasaan para pendukung pemukiman ilegal. Sebutan itu mendapatkan afirmasi pada serangan ke Jenin kali ini yang merupakan bagian dari rencana untuk menganeksasi Tepi Barat secara lebih masif dan agresif. Kekacauan ini dilatari oleh pemindahan kekuasaan pengelolaan Tepi Barat pada Menteri Keamanan Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Kedua tokoh tersebut merupakan representasi kelompok sayap kanan ultra nasionalis di Israel yang secara konsisten memperjuangkan aneksasi yang lebih luas terhadap wilayah Tepi Barat untuk dijadikan pemukiman ilegal bagi warga Yahudi.
Ben Gvir dan Smotrich mendapatkan mandat dari pemerintahan garis keras Perdana Menteri Netanyahu untuk mengurus Tepi Barat. Ben Gvir mendapatkan otoritas untuk mengontrol polisi perbatasan Israel yang membuka jalan baginya untuk membentuk apa yang ia sebut sebagai “milisi swasta” atau “garda nasional”. Secara sederhana, milisi swasta ini adalah pasukan sipil yang dipersenjatai dan dilatih secara militer untuk berbaur bersama para pemukim seraya menjaga stabilitas kawasan pemukiman ilegal. Di sisi lain, Smotrich mendapatkan kuasa untuk mengelola urusan administrasi sipil di Tepi Barat bersama dengan Otoritas Palestina. Di bawah kendali Smotrich, lahir kesepakatan ajaib untuk membangun 4.560 unit pemukiman untuk warga Yahudi di Tepi Barat.
Rencana pembentukan Garda Nasional di bawah asuhan Ben Gvir pada awalnya sangat ditentang oleh para petinggi militer dan juga kepolisian Israel. Adanya rangkaian serangan bersenjata para pemukim ilegal terhadap warga Palestina selama ini sudah dicap sebagai “teror kelompok nasionalis”. Mereka khawatir penempatan milisi swasta dan sipil yang bersenjata akan meningkatkan ekskalasi perlawanan warga Palestina di Tepi Barat. Padahal, pendekatan militer Israel terhadap Palestina selama ini adalah stick & carrot yang tentu saja memerlukan kendali yang terpusat dan tidak sporadis. Namun, Ben Gvir tetap pada pendiriannya untuk melatih dan mempersiapkan pasukan Garda Nasional ini yang terdiri dari beragam elemen non-militer.
Munculnya para pemukim yang melakukan serangan langsung terhadap warga Palestina belakangan ini adalah indikasi kuat seriusnya rencana Ben Gvir dalam membentuk milisi. Terdapat banyak insiden yang dimulai dari ulah para pemukim ilegal yang secara terang-terangan menyerang warga Palestina. Mulai dari melempari batu, merusak properti seperti rumah dan pertokoan, hingga pembakaran kebun-kebun zaitun milik warga Palestina. Semua aksi tersebut dilakukan dengan perlindungan tentara Israel. Pada banyak foto dan video yang beredar di internet, sebagian pemukim ilegal juga dengan santainya membawa senjata api seolah mereka adalah aparat keamanan.
Serangan Israel ke Jenin kali ini tentu tidak bisa dilepaskan dari mimpi-mimpi basah Zionis sayap kanan Israel. Jika motif serangan hanyalah mencari dan melumpuhkan pejuang Palestina, tentu eskalasinya tidak akan sebesar yang tampak hari ini. Apalagi, simpul-simpul perlawanan para pemuda Palestina di Jenin banyak yang tidak terafiliasi langsung pada kepentingan politik arus utama antara Hamas dan Fatah. Dengan kata lain, kelompok perlawanan ini tidak terorganisasi dan terstruktur layaknya pasukan paramiliter faksi-faksi perlawanan Palestina lainnya. Para pejuang yang masih berusia muda ini berhimpun dan membentuk kelompok-kelompok kecil yang terpisah tetapi juga tersebar merata di banyak kawasan lain, seperti Nablus, Ramallah, dan Jericho. Israel tentu saja memiliki kapasitas yang sangat mumpuni untuk mematahkan perlawanan mereka. Namun, motif utama Israel sebenarnya adalah penguasaan Tepi Barat untuk rencana pembangunan pemukiman ilegal bagi warga Yahudi. Oleh sebab itu, pengerahan pasukan dan serangan militer dibarengi juga dengan pengerahan alat berat dan buldozer untuk penghancuran bangunan.
Buldozer mencongkel aspal jalan sehingga melumpuhkan akses transportasi warga, termasuk ambulans. 80% bangunan di Jenin rusak akibat serangan kali ini. Meninggalkan trauma berat bagi para penduduk di dalamnya. Mereka yang menempati kamp pengungsian di Jenin adalah warga Palestina yang terusir pada peristiwa Nakba tahun 1948. Saat itu Israel merelokasi dan mengusir sekitar 750.000 orang Palestina seraya mengumumkan berdirinya negara Israel. Sejak hari itu, kamp pengungsian yang berada di wilayah Tepi Barat ini menjadi salah satu kantong perlawanan paling gigih terhadap penjajahan Israel. Dan kali ini, Israel begitu bernafsu ingin menguasainya, merelokasi warga yang tinggal di dalamnya, seraya membangun pemukiman ilegal untuk warga Yahudi.
Bom Rakitan Yang Mengubah Permainan
Hal yang perlu dicermati selanjutnya adalah peningkatan eskalasi perlawanan dari pihak Palestina yang ternyata berhasil memaksa tentara Israel menarik pasukan. Pada serangan kali ini, Israel direpotkan oleh serangan bom rakitan (IED/Improvised Explosive Devices) para pejuang Palestina yang mengalami peningkatan dari segi kualitas. Bom-bom rakitan yang baru tersebut, berhasil merusak dan menahan laju kendaraan lapis baja Israel yang merangsek ke Jenin. Pejuang Palestina banyak mengandalkan serangan dengan menggunakan bom rakitan yang bisa dikendalikan dari jarak jauh dan efektif menahan laju pasukan Israel sekaligus memberi daya pukul yang signifikan.
Pada banyak video yang beredar di internet, tampak sebuah helikopter tempur Israel terlibat dalam serangan ke Jenin kali ini. Penggunaan helikopter tempur adalah hal yang tidak biasa pada serangan Israel ke Tepi Barat. Helikopter tempur terakhir digunakan ketika pecah intifadha kedua tahun 2002 lalu yang mengindikasikan bahwa perlawanan pejuang Palestina kali ini sudah dianggap setara dengan intifadha. Pada rilis berita yang didapatkan dari berbagai sumber, helikopter tersebut ternyata diterjunkan untuk membantu evakuasi pasukan darat Israel yang mengalami kegagalan akibat bom rakitan pejuang Palestina. Pada video yang beredar luas tersebut, helikopter Israel memberi tembakan rudal dan mengeluarkan flares (api pengecoh) di sekitar titik pertempuran. Tembakan rudal berfungsi untuk mensterilkan perimeter titik evakuasi pasukan Israel. Sedangkan flares digunakan untuk mencegah kemungkinan helikopter terkena tembakan rudal pencari panas dari pihak Palestina.
Buntut dari kejadian tersebut, pihak militer dan intelijen Israel yang pada awalnya berseberangan cara pandang dengan Ben Gvir akhirnya mulai menganggap perlu mengambil tindakan yang lebih agresif. Biar bagaimanapun, kegagalan serangan Israel yang tampak sederhana bisa teramplifikasi sebagai sebuah kemenangan besar bagi bangsa Palestina. Hal semacam ini akan memompa semangat juang Bangsa Palestina dan menginspirasi perlawanan di kota-kota lainnya. Israel tentu tidak ingin intifadha jilid tiga pecah tahun ini. Hasilnya, meski pasukan Israel akhirnya ditarik mundur, otoritas Israel berjanji untuk terus melumpuhkan perlawanan dari Jenin yang disebut oleh Netanyahu sebagai “sarang teroris”. Bukan tidak mungkin, Jenin juga bisa diberi perlakuan seperti halnya Gaza.
Hal yang paling moderat untuk dicapai setelah serangan kali ini adalah kehadiran Otoritas Palestina ke Jenin untuk mengendalikan situasi. Pihak Israel tentu mendorong agar Pemerintahan Fatah bisa membujuk para faksi perlawanan untuk menanggalkan senjata dengan imbalan kestabilan dan akses kebutuhan dasar seperti listrik dan air. Masalahnya, Otoritas Palestina di bawah pemerintahan Fatah sulit mendapatkan dukungan yang cukup di antara faksi perlawanan yang selama ini menganggap kalau Pemerintahan Fatah hanyalah perpanjangan tangan para penjajah. Seorang pemain teater Palestina kelahiran Jenin, Maryam Abu Khaled, mengatakan kalau semua anak kecil di Jenin ingin menjadi syuhada (martir) jika ditanya mengenai cita-cita mereka. Hal ini terdengar miris sekaligus revolusioner, karena cita-cita semacam itu tidak mungkin diwujudkan apabila mereka dipaksa harus meletakkan senjata.
Leave a Reply