Ismail Suardi Wekke
*Dosen Pascasarjana IAIN Sorong & Divisi Riset ISMES
Melalui instrumen negara, dan seluruh perangkatnya. Indonesia juga secara aktif menggalang dukungan internasional bagi solidaritas kemanusiaan. Mentri Luar Negeri RI melaksanakan kunjungan dan diskusi diplomasi, termasuk menghadirkan Presiden RI Joko Widodo untuk turut bersama-sama dalam KTT Luar Biasa OKI di Saudi Arabia. Termasuk dalam kesempatan ini, Indonesia sebagai ketua ASEAN, sekaligus penduduk dengan muslim terbesar di dunia.
Kondisi Palestina hari ini, juga menjadi perhatian bagi pelbagai kalangan masyarakat. Dalam pelbagai kesempatan, dan lokasi. Mulai dari masjid sampai warung kopi. Tidak saja dalam bentuk seminar, termasuk diskusi daring dengan ragam nama yang digunakan. Bahkan juga majelis taklim. Sebuah isu kemanusiaan, bukan lagi pada soal agama dan politik saja. Bahkan ujar kawan, bahkan itu sudah menjadi peristiwa yang multidimensi. Sekalipun dalam kondisi tertentu, perlu juga dilihat dalam dua hal itu.
Bagi kita di Indonesia, tanah itu merupakan bagian dari sejarah kemanusiaan. Sejak Ibrahim bahkan, bapak para nabi hingga Nabi Muhammad SAW. Ada hulunya yang sampai ke ayah Ismail dan Ishaq, keduanyapun diutus menjadi nabi dan rasul. Sehingga ketika perang terjadi, bukan hanya dijadikan sebagai tontonan semata-mata. Ataupun sebagai komsumsi berita belaka.
Sebuah acara pengajian dihelat Baznas Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan), dengan pelbagai elemen organisasi kemasyarakatan. Donasi yang terkumpul sejumlah Rp. 917.000.000, dari total dana yang dikumpulkan Baznas Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak Rp. 4.300.000.000. pengumpulan dana dilaksanakan remaja masjid, majelis taklim, sekolah/madrasah dan pesantren. Semua elemen turut terlibat dalam program ini. Sejak awal ajakan donasi disebarkan, kemudian diakhiri dengan sebuah pengajian bersama. Senyampang dengan itu, bendera Palestina dikibarkan di jalan-jalan protocol Turikale. Sementara peserta tabligh akbar, mengenakan syal dengan citra diri Palestina.
Dalam sebuah acara yang bertajuk “Membasuh Luka Palestina”. Inilah yang menjadi bagian dari soliditas dan sekaligus solidaritas umat Islam Sulawesi Selatan. Tak keliru, jika Sulawesi Selatan dijuluki sebagai “Serambi Madinah”. Kepedulian atas korban perang di Palestina, sekalipun juga masih ada keterbatasan dan kekurangan dalam diri masing-masing.
Sementara itu, murid SD di Makassar. Gurunyapun mengajak mereka untuk melakasanakan pawai sekaligus himbauan berdonasi. Seorang murid SD menyumbangkan seluruh tabungannya yang didisihkan dari uang jajan sebesar Rp. 50.000. Bukan tentang jumlah 50 itu, tetapi kerelaan untuk menyumbang dan bahkan berpuasa dari jajan untuk membantu masyarakat Palestina yang menderita.
Kedua, kita saksikan betapa merek-merek tertentu yang diindetifikasi oleh warganet sebagai brand yang terafiliasi pada dukungan bagi Israel, mendapatkan kecaman dan juga boikot. Diantara warganet tidak lagi mau menikmati sajian ayam cepat saji merek tertentu. Sementara itu, pedagang dengan nama akun di instagram Mat Peci, menurunkan barang-barang dari rak tokonya untuk tidak dijual lagi. Sementara Iqbal, warga yang bermukim di Bantul mengenalkan kecap dengan merek lokal. Situasi yang tidak sama persis, juga berlaku di Sorong. Seorang pedagang, tidak lagi memesan untuk persediaan barang bagi barang tertentu dengan merek yang memberikan sumbangan bagi Israel.
Walau demikian, satu supermarket di Antang (Makassar) memberikan penjelasan melalui brosur bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak pernah menyebutkan mereka tertentu sebagai pengharaman atas barang tersebut untuk dijual. Ini sebuah kesempatan untuk mengenalkan merek-merek lokal. Di Sulawesi Selatan, produk ayam goreng justru menemukan pelanggan baru, diantaranya Hisanah. Begitu pula di beberapa lokasi yang menggunakan gandengan fried chiken. Wilayah selatan di Sulawesi Selatan, tersebar, Takalar, Bantaeng, Turateaa, dll.
Dalam jangka waktu tertentu, ada ketidakmauan untuk berbelanja pada merek-merek tertentu, seperti Pizza Hut, KFC, dan McDonald. Untuk menetralisir itu, sebuah gerai Pizza Hut secara khusus memberikan penjelasan bahwa Pizza Hut sepenuhnya dimiliki dan dikelola warga Indonesia. Sekalipun demikian, penjualan merek-merek restoran yang diboikot warganet mengalami penurunan omset dan volume penjualan. Sekalipun sudah ada intervensi melalui promosi harga dan pemotongan harga. Malam hari (25/12/2023) bahkan melihat sekilas perusahaan Pizza Hut menjual di pinggir jalan. Ini mungkin sebagai strategi bisnis, dimana perlunya menjemput penjual dan menerapkan strategi marketing tersendiri.
Situasi lainnya, justru ketika pawai dukungan Palestina, dukungan ini justru menjadi sebuah kondisi yang kontra bagi sekelompok lainnya. Ada peserta pawai yang justru mendapatkan kekerasan. Bitung, menjadi gambaran betapa isu Palestina bukanlah sebuah perang yang serta merta diterima sebagai sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Diantaranya wujud pendapat bahwa itu semata-mata bukanlah menjadi urusan internal warga Indonesia. Wujudnya perang Palestina-Israel dipandang dengan kondisi yang tak seragam.
Olehnya, usai 7 Oktober dimana awal perang Palestina-Israel sampai akhir tahun yang belum juga menemukan kata damai. Sekalipun sudah diadakan gencatan senjata. Hanya saja, perang tidaklah pernah membawa apapun kecuali derita. Bahkan kita mengenal pepatah “kalah jadi abu, menang jadi arang”. Semuanya, tetap terbakar. Begitu pula dengan masyarakat Indonesia, pasca 7 Oktober 2023. Juga turut terbakar dengan skala yang berbeda-beda. Entah sampai kapan, tetap saja diperlukan keberpihakan kita masing-masing untuk menguntai doa dan memilin semangat untuk sebuah harap agar damai itu segera wujud.
Leave a Reply