
DI BALIK EKSEKUSI SYEIKH AN-NIMR
Smith Alhadar
Penasihat ISMES; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Eksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi terhadap tokoh Syiah Saudi Syeikh Nimr Baqir al-Nimr pada 2 Januari lalu cukup mengejutkan. Syeikh Nimr adalah ulama panutan dan rujukan (marja taqlid) masyarakat Syiah di wilayah Al-Qatif, Arab Saudi timur. Ia dieksekusi bersama 46 orang lainnya yang kesemuanya dituduh terlibat terorisme. Selain Nimr, ada pula tiga warga Syiah Saudi, seorang warga Mesir, seorang warga Chad, dan sisanya warga Arab Saudi. Kecuali empat warga Syiah, semuanya dituduh aktivis al-Qaeda yang melakukan pemboman di Saudi antara 2003 sampai 2006.
Nimr memang agitator politik ulung. Dialah yang berada di balik demonstrasi besar anti monarki Saudi pada 2011 dan 2012 seiring dengan meletusnya Arab Spring di Tunisia yang kemudian menjalar ke berbagai negara Arab pada awal 2011. Tapi Nimr, yang ditangkap pada Juli 2012, sama sekali bukan seorang teroris. Ia mengkritik perlakuan diskriminatif pemerintah Saudi terhadap kaum Syiah di bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan, tapi ia selalu menganjurkan protes damai dan menentang kekerasan. Hal itu dapat dilihat pada kaset-kaset cermahnya yang beredar luas. Di pengadilan militer yang tidak akuntabel dan transparan, Nimr mengakui semua aspek politik yang dituduhkan kepadanya, tapi ia menolak tuduhan pengadilan bahwa ia membawa senjata, menganjurkan kekerasan, dan bertindak sebagai kaki tangan Iran. Rupanya Saudi sengaja mengeksekusinya bersama orang-orang al-Qaeda dan warga asing lainnya untuk tidak terlihat sebagai tindakan sektarian. Warga Syiah lain yang dieksekusi adalah Ali al-Nimr (sepupu Syeikh al-Nimr), Abdullah al-Zaher, dan Husain al-Marhoon, yang kesemuanya merupakan peserta demonstrasi yang diprakarsai Syeikh al-Nimr itu.
Masalah Internal Saudi
Eksekusi massal yang merupakan yang terbesar sejak 1980 ini berlangsung beberapa hari setelah kerajaan Saudi mengumumkan defisit APBN pada 2015 sebesar 98 miliar dollar AS dan kenaikan harga minyak sebesar 50 persen, yang akan disusul dengan kenaikan harga diesel, minyak tanah, iuran listrik dan air. Defisit anggaran ini terkait dengan menurunnya harga minyak dunia dan belanja militer yang besar untuk perang di Yaman melawan milisi Syiah Houthi dan perang melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Defisit anggaran yang demikian besar dan kenaikan harga barang dan jasa tentu saja tidak menyenangkan rakyat masih dibarengi dengan kebijakan politik luar negeri Saudi yang meresahkan masyarakat.
Simpatisan rakyat Saudi terhadap NIIS cukup besar, sementara pemerintah memeranginya. Memang ideologi Wahabisme tak terlalu beda jauh dengan ideologi NIIS yang intoleran terhadap agama dan mazhab lain. Rakyat Saudi juga kecewa pada kebijakan pemerintah yang mendukung kudeta yang dilancarkan Jenderal Abdul Fattah el-Sisi terhadap pemerintahan Ikhwanul Muslimin di bawah Presiden Muhammad Mursi pada 2013. Serta juga menentang partai Islam Ennahda di Tunisia pimpinan Abdul Rasyid al-Ghanushi. Saudi bersama negara Arab Teluk lain mengancam akan menghentikan bantuan finansial kepada Tnusia jika Partai Nidaa Tunis yang memenangkan pemilu Desember 2014 berkoalisi dengan Ennahda. Menurut perkiraan Michael Mehrdad Izady (2015), yang menggunakan kriteria budaya dan bukan pengakuan, terdapat 4,3 juta (25%) penganut Syiah di Saudi, 4 juta (23%) Wahabi, dan 9 juta (52%) penganut Sunni non-Wahabi. Maka, tujuan eksekusi terhadap Syeikh Nimr dan 46 orang lainnya bisa dilihat sebagai peringatan keras pada pihak-pihak dalam negeri yang tidak puas dengan kebijakan internal maupun eksternal Saudi serta negara-negara regional bahwa pemerintah Saudi tidak akan segan-segan menghukum siapa pun yang mencoba mengganggu keamanan Saudi.
Dampak Regional
Sebagai respons terhadap reaksi Iran yang dipandang berlebihan, Riyadh memutuskan hubungan diplmatik dengan Teheran. Duta Besar Arab Saudi dan seluruh staffnya di Kedutaan Besarnya di Teheran dan konsulatnya di Masyhad telah ditarik pulang. Duta besar Iran dan seluruh dipomatnya diperintahkan angkat kaki dari Riyadh dalam waktu 48 jam. Akibatnya, ketegangan sektarian di kawasan meningkat tajam. Houthi dan Yaman, Hizbullah di Lebanon, dan pemerintah Irak, selain Iran, melancarkan protes keras atas eksekusi Syekh Nimr, yang belajar teologi di Iran selama belasan tahun. Sementara negara-negara Arab mendukung posisi Arab Saudi. Hal ini akan berdampak pada upaya-upaya perdamaian di Yaman dan Suriah, yang perundingan perdamaiannya akan dilaksanakan pada 14 Juni dan 25 Juni, menjadi sulit. Sebagaimana diketahui, Houthi di Yaman mendapat dukungan Iran yang diperangi oleh koalisi Arab pimpinan Arab Saudi. Di Suriah, Saudi berpihak pada kelompok pemberontak Suriah melawan Rezim Presiden Bashar al-Assad, sementara Iran mendukungnya.
Reaksi Iran yang cukup keras mungkin lantara upayanya selama ini untuk membebaskan Syeikh Nimr tidak digubris Arab Saudi, selain penghormatannya yang tinggi pada ulama marja taqlid Syiah. Saudi pun mengabaikan tawaran marja taqlid Irak, Ayatullah Ali Sistani, untuk menukar pembebasan Syeikh Nimr dengan pembebasan seorang politisi Sunni yang sedang ditahan di penjara Irak. Saudi melihat Syeikh Nimr ini terlalu berbahaya bagi keamanannya, yang ditakutkan menjadi kaki tangan Iran untuk aksi-aksi subversif dalam negeri.
Pertikaian keras Iran-Saudi ini diperkirakan akan membuat Saudi tetap menolak untuk memotong produksi minyaknya sehingga harga minyak dunia akan tetap rendah dengan tujuan mencegah investasi di industri perminyakan Iran. Sebagaimana diketahui, tak kurang dari 80 persen pendapatan luar negeri Iran diperoleh dari produksi minyaknya. Dicabutnya sanksi AS, Uni Eropa, dan PBB atas ekonomi Iran menyusul dicapainya kesepakatan nuklir Iran akan membuat negara mullah itu berpeluang mendapatkan pemasukan besar dengan meningkatkan produksi minyaknya. Riyadh khawatir dana segar yang diperoleh Teheran akan dipakai untuk membantu rezim Bashar al-Assad dan Houthi. Maka, peluang itu harus ditutup dengan cara mempertahankan harga minyak tetap rendah.
Dan konflik Iran-Saudi ini juga bisa jadi akan lebih mendekatkan Saudi dengan Israel. Sebagaimana diketahui, belakangan ini Saudi dan Israel terlibat dialog intensif untuk kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik kedua negara. Wakil Saudi yang terlibat dialog adalah Anwar Majid Eshki, mantan penasihat Pengeran Bandar bin Sultan, sedangkan wakil Israel adalah Dore Gold, mantan Dubes Israel untuk PBB. Dialog mereka telah berlangsung tiga putara di India, Italia, dan Ceko. Perundingan belum mencapai hasil karena Israel belum bersedia memenuhi tuntutan Arab Saudi agar Israel memerdekakan bangsa Palestina. Pendekatan Saudi-Israel itu tak lepas dari tercapainya kesepakatan nuklir Iran, yang mengubah balance of power di Timur Tengah. Alhasil, eksekusi Syeikh Nimr membawa dampak besar di kawasan.
Jakarta, 4 Januari 2016