
ARAB SAUDI, TALIBAN DAN ISIS DALAM KONFLIK KAWASAN
Smith Alhadar
Penasihat ISMES
Mullah Mohammad Omar, pemimpin Taliban, telah meninggal disebabkan tuberkulosis pada April 2013, tapi baru diumumkan lebih dari dua tahun kemudian (30 Juli 2015). Penggantinya adalah Mullah Akhtar Mohammad Mansour, asisten pribadinya, yang telah memimpin Taliban dalam tiga tahun terakhir. Ditundanya maklumat kematian Omar sangat mungkin disebabkan proses suksesi dan konsolidasi Taliban. Munculnya nama Mansour yang moderat kemungkinan besar hasil kesepakatan antara AS dan koalisi Pakistan-Arab Teluk sebab dalam perundingan damai di Islamabad, Pakistan, awal Juli lalu antara Taliban dan pemerintahan Afghanistan dukungan Washington dan Teheran wakil AS ikut hadir. Kesepakatan dengan Pakistan-Arab Teluk diperlukan agar AS dapat mengakhiri konflik di Afghanistan dan menarik pulang 13.000 sisa tentaranya di sana serta menjamin Aghanistan tidak tergelincir ke dalam rezim Taliban yang pernah menguasai Afghanistan (1996-2001) dan melindungi Usama bin Laden serta pengikut al-Qaeda.
Wakil Tiongkok juga hadir dalam perundingan di Islamabad. Keterlibatan Beijing lebih terkait dengan isu keamanan dalam negerinya. Propinsi Xinjiang di barat daya Tiongkok, yang dihuni sekitar 20 juta muslim Uighur dari berbagai etnis Turki, membara dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah enis Tajik yang menghuni wilayah yang berbatasan dengan Afghanistan timur laut. Tiongkok khawatir, Afghanistan yang tidak stabil tak dapat menjaga perbatasannya yang memudahkan orang-orang Uighur masuk keluar Afghanistan-Tiongkok untuk mendapatkan senjata atau bom yang kemudian dipakai untuk menebar teror di Tiongkok. Tindakan represif atas mereka akan mengganggu hubungan Tiongkok dengan Timur Tengah, Asia Tengah, bahkan dunia Islam. Partisipasi Tiongkok dalam perundingan tak diragukan bertujuan menawarkan insentif ekonomi bagi rekonstruksi Afghanistan bila terbentuk pemerintahan yang moderat dengan keterlibatan Taliban.
Bersamaan dengan pengumuman kematian Mullah Omar, Taliban menolak menghadiri perundingan putaran kedua yang direncanakan pada 31 Juli. Apa yang sesungguhnya terjadi? Penolakan itu terjadi 16 hari setelah Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis, plus Jerman) mencapai kesepakatan program nuklir Iran yang mengecewakan negara-negara Arab Teluk. Dan Sembilan hari setelah Turki memutuskan perang terhadap Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) menyusul pemboman bunuh diri ISIS di Suruc, kota Kurdi di Turki, 20 Juli. Bisa jadi pengingkaran Taliban itu atas desakan negara-negara Arab Teluk sebagai protes terhadap AS. Lagi pula, berkompromi dengan pemerintahan Afghanistan yang modern dan demokratis serta didukung Syiah, incompatible dengan corak Islam ultrakonservatif Taliban, tidak cukup militan, dan lemah secara ideologis untuk menghadapi Iran.
Taliban memang sangat bergantung pada dukungan negara-negara Arab Teluk, khususnya Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA). Kelompok ini dibentuk tahun 1994 atas kesepakatan AS, Pakistan, dan Arab Teluk. Sumber daya manusianya diambil dari madrasah di pinggiran Kota Kandahar, Afghanistan, dan madrasah-madrasah bagi pengungsi Afghanistan di sepanjang perbatasan Afghanistan-Pakistan. Awalnya, ketiga negara ini mendukung faksi mujahidin pimpinan Gulbuddin Hekmatyar untuk mengambil alih kekuasaan yang ditinggal Uni Soviet (1989). Namun, konflik di antara faksi mujahidin berbasis etnis — seperti mujahidin dari etnis Pashtun pimpinan Hekmatyar, etnis Tajik pimpinan duet Burhanuddin Rabbani-Ahmad Shah Masoud, etnis Uzbek pimpinan Abdul Rasyid Dostam, dan etnis Hazara yang menganut Syiah — yang tidak berkesudahan membuat ketiganya mencari alternatif. Terutama juga setelah Hekmatyar mendukung menginvasi Irak ke Kuwait (1990). Saudi menyediakan uang, AS menyediakan senjata, dan Pakistan melakukan pelatihan dan pasokan data intelijen. Tak heran, hanya dalam waktu dua tahun Taliban berhasil menduduki Kabul dengan menundukkan para mujahidin legendaris yang berhasil mendepak tentara merah dan rezim komunis Najibullah (1992) dari Kabul.
Sudah lama Pakistan mengidamkan perdagangan dengan negara-negara Asia Tengah secara lebih mudah dan murah melalui Afghanistan. Tapi hal itu hanya mungkin kalau Kabul bersahabat dengannya. Selain itu, Islamabad menginginkan Afghnaistan menjauh dari India, untuk memungkinkannya mengkonsentrasikan pasukannya di perbatasan timur dan timur laut mengingat India dan Pakistan masih berkonflik terkait Kashmir dan terorisme. AS hendak mengeksplorasi minyak di sana dan melintasi pipa minyak Asia Tengah yang akan disalurkan ke pelabuhan Karachi, Pakistan. Sementara Arab Teluk yang lemah hendak mengimbangi Iran. Digusurnya Taliban oleh NATO pimpinan AS pada 2001 tak membuat Taliban mati. Badan intelijen Pakistan (IIS) tetap melindungi Taliban dan Mullah Omar yang memimpin dewan syura dari wilayah suku di Waziristan, barat laut Pakistan, karena pemerintahan Presiden Hamid Karzai pro-India. Sementara Arab Teluk tetap menyalurkan bantuan. Sebenarnya, perundingan Taliban-pemerintah Afghanistan sudah terjadi di Qatar sejak pemerintahan Hamid Karzai.
Arab Teluk pun ambigu terhadap ISIS. Di satu pihak, mereka tak dapat menolak permintaan sekutunya (AS) untuk ikut memerangi khilafat teror itu. Di pihak lain, dalam konteks persaingan dengan Iran, ISIS menguntungkan Arab Teluk lantaran memerangi rezim Syiah di Irak dan Suriah. Sejak Maret ketika Iran terlibat penaklukkan Tikrit dan koalisi Arab pimpinan Saudi mulai sibuk memerangi Houthi di Yaman, kita tak lagi mendengar serangan Liga Arab (Yordania, UEA, dan Arab Saudi) terhadap target-target ISIS. Harus dikatakan juga bahwa sesungguhnya faham-faham keagamaan yang ada di Arab Teluk tak berbeda jauh dengan Taliban maupun ISIS. Sikap intoleransi agama, mazhab, penafian sufisme, tawassul, makam wali, dan situs historis serupa di antara mereka. Dalam konteks politik, mereka berpegang pada konsep pemimpin yang adil, yang berkolaborasi dengan ulama, untuk memimpin negara Islam yang ideal tanpa perlu konstitusi, parlemen, dan pemilu. Namun, Wahabisme di Saudi adalah komunitas apolitik. Para raja Arab Saudi pun, dimulai dari pendiri Kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz ibnu Saud, telah sejak awal menentang ekstrimisme meskipun pendiri Wahabisme di akhir abad ke-18, Muhammad ibn Abdul Wahab, membolehkan pembunuhan orang yang berbuat syirik. Moderasi Saudi mulai diintensifkan Raja Faisal dan diteruskan hingga Raja Abdullah.
Bantuan Arab Teluk pada kelompok-kelompok Sunni di Irak dan Suriah pun bahkan sudah dimulai sejak awal konflik di Irak pasca Saddam Hussein (2003) dan munculnya Arab Spring di Suriah (2011) dalam perlombaan pengaruh dengan Iran. Keikutsertaan Turki dalam memerangi ISIS tentu mengecewakan Arab Teluk. Toh, mereka telah banyak berkorban dengan bergabung dengan Turki dan Qatar dalam mendukung Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir sepanjang pemerintahan PM Turki Recep Tayyip Erdogan tetap bermain mata dengan ISIS. Sejak 1970-an memang IM telah menjadi masalah di negara-negara Arab Teluk. Ditemukannya minyak di Teluk pada 1950-an, diikuti pendatangan guru-guru dari Mesir yang kebanyakan anggota IM untuk mengajar di universitas-universitas di sana, membuat ideologi IM bersemai di kerajaan-keraan Arab Teluk. Awalnya, Arab Saudi khususnya memihak Presiden Abdul Fattah El-Sisi dalam menteroriskan IM, tapi Turki dan Qatar menentangnya. Posisi Arab Saudi kian sulit, bahkan juga Mesir, ketika mereka harus mendukung Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi yang didukung Partai Islam, partai terbesar kedua di Yaman, yang notabene adalah partainya IM.
Dicabutnya sanksi ekonomi atas Iran dan kedatangan para pemimpin Barat ke Teheran untuk membicarakan kerja sama ekonomi menandai rekonsiliasi Iran-Barat, yang akan membuat Iran lebih leluasa menjalankan politik regionalnya yang berbau sektarian dan mengancam stabilitas Arab Teluk. Dalam konteks inilah kemungkinan mundurnya Taliban dari proses perdamaian dengan motif baru: menguasai penuh Kabul. Hal itu bukan tidak mungkin karena de facto pemerintahan Afghanistan rapuh dan koalisi Pakistan-Arab Teluk memiliki semua sumber daya untuk menjatuhkannya. Tentara Afghanistan yang dilatih AS hanya kuat di Kabul, sementara Taliban membuat kemajuan militer signifikan sejak NATO meninggalkan Afghanistan tahun lalu. Tapi suksesi yang dipaksakan dan konsolidasi yang belum selesai telah menimbulkan perpecahan di kalangan Taliban. Apakah perpecahan ini cukup signifikan dalam melemahkan Taliban? Tidak juga. Sepanjang Pakistan dan Arab Teluk menyokong salah satu pihak, maka pihak itulah yang akan survive. Namun, kelompok yang menentang perundingan bisa jadi bergabung dengan Tahrik-e Taliban Pakistan, organisasi payung al-Qaeda di Asia Selatan atau membuka cabang NIIS di Asia Selatan.
Jakarta, 7 Agustus 2015