Refleksi Dua Tahun Serangan Israel-Hamas; Seminar Kerja Sama BRIN, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), dan ISMES

Tanggal 7 Oktober 2025 menjadi penanda dua tahun konflik Israel-Hamas yang telah melahirkan tragedi kemanusiaan terbesar abad 21. Berkaitan dengan hal tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), serta Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) mengadakan seminar dengan tajuk “Refleksi Dua Tahun Serangan Israel-Hamas: Mendorong Solusi Perdamaian Berkelanjutan”

Acara diawali oleh sambutan Prof. Hamdan Basyar yang mewakili Pusat Riset Politik BRIN dan Dr. Saefullah yang mewakili Universitas Moestopo (Beragama). Dalam sambutannya, Prof. Hamdan menegaskan bahwa membicarakan isu Palestina adalah hal yang harus dilakukan saat ini mengingat atensi dunia terhadap Palestina sedang berada pada level yang tidak pernah ada sebelumnya. Prof. Hamdan Basyar juga mengingatkan sebagai seorang ilmuwan bahwa tugas yang melekat secara moral terkait isu Palestina adalah terus menerus menyuarakan dan melahirkan karya-karya akademis untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Sinergi dari semua pihak baik kalangan akademis ataupun non-akademis diharapkan mampu mendorong lahirnya kebijakan politik yang selaras dengan aspirasi masyarakat terkait isu Palestina.

Selanjutnya, sambutan dari Rektor Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Dr. H. M. Saifulloh yang memberikan penegasan mengenai sikap Universitas Moestopo dalam isu yang sedang berkembang. Dr. Saifulloh mengingatkan para audiens mengenai peran kunci Mayjen Moestopo dalam mempertahankan kemerdekaan serta semangat juangnya dalam melawan penjajahan di masa lalu. Dengan semangat yang sama, Universitas Moestopo berkomitmen untuk terus menolak penjajahan dan mendukung kemerdekaan tiap bangsa di dunia, termasuk Palestina.

Pada sesi pertama seminar, Nostalgiawan Wahyudi yang merupakan peneliti Pusat Riset Politik BRIN memaparkan hasil risetnya terkait kemungkinan tercapainya perdamaian di Palestina. Pemaparan Nostalgiawan didasarkan pada data terkait korban perang yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Palestina. Nostalgiawan menyoroti secara khusus kekejaman Israel pada warga Gaza yang bukan hanya melakukan pembantaian dan penyerangan secara fisik, melainkan strategi blokade total yang membuat penduduk Gaza kelaparan dan mati perlahan.

Hal yang menarik dari pemaparan Nostalgiawan adalah kuatnya popularitas Hamas di Palestina, bahkan setelah Israel membunuh ribuan penduduk Gaza. Survei yang dilakukan terhadap warga Gaza pada bulan Desember 2023 menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap serangan Hamas pada 7 Oktober sebagai tindakan yang salah. Sampai hari ini, popularitas dan kesolidan Hamas masih tetap tinggi di Palestina. Dengan kata lain, proposal perdamaian jenis apapun tidak mungkin mengecualikan Hamas dari skema masa depan Palestina. Sekalipun faksionalisasi politik di Palestina cukup tajam, hampir tidak mungkin mengabaikan Hamas sebagai variabel masa depan Palestina.

Berikutnya, 20 poin yang dirilis oleh Donald Trump (Trump Gaza Plan) secara khurus juga dikritisi oleh Nostalgiawan. Menurutnya, proposal ini sudah dibajak oleh Netanyahu dari yang sebelumnya merupakan hasil kesepakatan Amerika Serikat dengan negara-negara Arab menjadi bias Israel. Beberapa poin yang paling kontroversial adalah pelucutan Hamas yang akan membuat Gaza berstatus zero military sementara Israel tetap memegang kendali di Kawasan dan akan mundur secara bertahap. Lalu, administrasi pemerintahan Palestina akan diserahkan pada Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris yang terlibat kejahatan perang terhadap Irak tahun 2003. Padahal, dalam draft sebelumnya telah disepakati bahwa administrasi pemerintahan Palestina diserahkan pada negara-negara Arab.

Jika Trump Gaza Plan adalah skenario terakhir terkait resolusi perdamaian, jelas hal ini sangat meragukan dan memicu pesimisme. Sekalipun PBB saat ini cenderung pada resolusi dua negara, permasalahan besar berikutnya akan menyusul yaitu, partisi versi yang mana yang akan dipakai? Di sisi lain, rakyat Palestina yang mendukung solusi dua negara ternyata baru menembus angka 43%. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Israel. Uniknya, angka ini berkaitan dengan tingkat religiusitas masyarakat di kedua belah pihak. Semakin religius masyarakat, semakin ia menolak solusi dua negara dan begitu pula sebaliknya, semakin kiri dan sekuler msayarakat, semakin mereka mendukung solusi dua negara. Pada bagian akhir dari pemaparannya, Nostalgiawan menyampaikan bahwa impian terbesar rakyat Palestina justru adalah menjadi negara merdeka sepenuhnya dengan peta wilayah seperti tahun 1917.

Sesi berikutnya, Dr. Ryantori yang merupakan Direktur Eksekutif Indonesian Society for Middle East Studies memberi tekanan khusus pada hak pengungsi Palestina untuk kembali ke wilayah mereka. Dalam bahasa Arab, hak untuk kembali disebut sebagai Haqul Audah dan ini merupakan isu penting yang seringkali terlupa dalam konstelasi konflik Israel-Palestina selama ini. Dr. Ryantori mengajak seluruh audiens untuk terus memperjuangkan hak rakyat Palestina kembali ke tanah mereka. Namun, permasalahan yang muncul dari inisiasi right to return ternyata sama dengan solusi dua negara. Skema pengembalian penduduk Palestina ke wilayah mereka akan terbentur pada peta wilayah yang terlebih dulu harus disepakati. Dengan kata lain, hal ini menjadi dilematis karena dengan mendukung hak kembalinya warga Palestina ke tanah mereka sama juga memaksa kita untuk menyepakati pembagian wilayah yang kemungkinan besarnya bias Israel.

Sesi terakhir diisi oleh Dr. Asep Setiawan dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang juga peneliti di ISMES. Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konstelasi negara-negara Arab dalam isu Palestina saat ini termasuk peluang dan tantangan yang dihadapi. Sejarah dan pasang surut dialektika negara-negara Arab terhadap isu Palestina ternyata sangat dipengaruhi oleh kekuatan Amerika Serikat yang begitu determinan memberi corak pada politik luar negeri para pemimpin Arab. Sejarah perang dan kekalahan aliansi negara-negara Arab terhadap Israel sejak 1948, 1967, hingga 1973 membentuk apa yang hari ini terlihat seperti “slow respon” negara Arab pada krisis di Gaza. Amerika Serikat yang secara konsisten menjaga ketergantungan negara-negara Arab adalah faktor utama yang menjaga “status quo” negara-negara Arab pada isu Palestina.

Dr. Asep Setiawan juga menanggapi proposal solusi dua negara yang digulirkan oleh PBB yang kemudian juga menjadi pilihan sikap resmi Indonesia belakangan ini. Menurutnya, meskipun solusi dua negara terlihat realistis, tetapi hambatan utamanya justru karena solusi tersebut tidak pernah disetujui oleh Israel. Sekalipun jalan menuju perdamaian melalui solusi dua negara ini masih panjang, setidaknya pengakuan negara-negara besar terhadap status negara Palestina cukup membawa angin segar. Biar bagaimanapun, dengan pengakuan negara-negara besar seperti Inggris, Perancis, Kanada, dan Australia, ide untuk mengungsikan penduduk Palestina menjadi tidak lagi relevan. Dengan kata lain, opsi tunggal hanyalah mengembalikan para pengungsi ke negara mereka yang telah diakui secara internasional.

Pada sesi diskusi, ada tambahan menarik dari Muslim Imran selaku direktur dari Asia Middle East Center (AMEC) terkait watak ideologi zionisme dan masa depan penyelesaian konflik. Menurut Imran, memahami ideologi zionisme sesederhana memahami sekelompok orang yang tidak akan berhenti mengusir dan memusnahkan seluruh orang demi menguasai sebidang tanah yang mereka klaim sebagai milik mereka. Proyek zionisme ini tak ubahnya seperti penjajahan pada lembar sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Terkait isu solusi dua negara, Imran bertanya pada audiens jika terkait penjajahan di Indonesia, apakah bangsa Indonesia akan menerima kemerdekaan dengan sebagian wilayah tetap dikuasai oleh Belanda? Audiens serempak menjawab “tidak”. Jawaban spontan audiens yang menolak skema penguasaan bekas penjajah itu, menurut Imran serupa dengan respon bangsa Palestina dalam melihat masa depan mereka.

Admin

Jakarta, 7 Oktober 2025

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*