Wacana Pemikiran Arab Modern

Ismail Suardi Wekke
STAIN Sorong & Divisi Riset ISMES

Era setelah 1967, dijadikan sebagai momentum kebangkitan pemikiran Arab. Walaupun disebut dengan dua istilah berbeda yaitu kontemporer dan modern tetapi tetaplah merujuk kepada fase yang sama. Dalam istilah yang lain, momentum itu dinamakan juga qath’iyah (penggalan) historis. Saat itu meledakkan kesadaran tersendiri setelah kekalahan Arab dari Israel, “negara” yang penduduknya tidak lebih dari tiganjuta orang saat itu.

Penderitaan akibat kekalahan mulai dilakukan dengan penjelasan akademik. Tafsir al-azmah mengemuka, dimana sebab-sebab kekalahan didiskusikan. Sehingga sampailah pada analisis dua terminologi utama yaitu tradisional dan modern. Dua kata ini kemudian digambarkan dalam ragam kosakata yang sangat kaya, diantaranya: al-turats wa al-hadatsah, al-turats wa al-tajdid, al-ashlah wa al-hadatsah, dan al-qadim wa al-jadid. Kosakata itu ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hanya dengan satu kata. Sekali lagi, itu membuktikan betapa bahasa Arab sangat kaya dengan kepelbagaian kosakata.

Sementara itu topik tentang keislaman dan kearaban justru menjadi topik yang diabaikan. Walaupun kaitan dengan ini sudah dikemukakan Muhamamd Abduh dan Abd Al-Rahman Al-Kawakibi. Pertanyaan utama justru mendiskusikan bagaimana seharusnya sikap yang ditempuh dalam mengukur modernitas itu sendiri. Pada saat yang sama, tradisi yang diwarisi hendak dihadapi dengan cara apa. Keterlibatan Arab dan bukan Islam mendapat tempat yang sama bagi pilihan Arab dan Islam. Dari kalangan Kristen, dikenal Shibli Shumayl, Farah Antun, dan Salamah Musa.

Perkembangan wacana tidak saja pada topik transformasi sosial. Tetapi perkembangan pemikiran juga sampai pada perlunya penafsiran baru terhadap kehidupan saat dimana perlunya penyesuaian terhadap perkembangan mutakhir. Beberapa pelopor yang menggaungkan perlunya ilmu pengetahuan menjadi sarana transformasi antara lain Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui, dan Mahdi Amil.

Akhir abad kesembilan belas, wacana rekonstruksi diajukan beberapa tokoh seperti Al-Afghani, Abduh, dan Kawakib. Gagasan mereka kemudian diteruskan Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Sa’ab, dan Muhammad Nuwayhi. Terdapat pula metode yang lain dalam konteks reformasi pemikiran yaitu dekonstruktif. Tokoh yang bergerak dengan pola ini diantaranya Arkoun, Jabiri, dan Hashim Shaleh. Pengalaman yang berinteraksi dengan tradisi pendidikan Perancis, sehingga mereka sangat dekat dengan pemikiran Levi-Strauss, Lacan, Foucault, dan Derrida.

Penjajahan Perancis di daerah Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunis, dan Libia) menjadikan penyerapan literatur Perancis lebih dominan dibandingkan bahasa Eropa lainnya. Termasuk di beberapa negara menggunakan gelar yang diperkenalkan Perancis, yaitu Lc (lisanis). Arkoun yang berasal dari Aljazair, sementara Jabiri yang berasal dari Maroko, secara khusus mengusulkan metode dekonstruksi dalam pembacaan tradisi yang disebutnya dengan istilah turats.

Tampaknya, ada konsistensi wacana sehingga kemudian para cendekiawan Arab kemudian mampu mengembangkan wacana yang didiskusikannya tidak hanya pada wilayah Arab semata. Ada lintas sempadan yang kemudian turut menjadi bagian dalam pengembangan wacana. Bahkan sampai mempengaruhi wilayah lain, dimana secara geografis tidak terikat dengan status kearaban itu sendiri. Ini bermakna bahwa diskursus kearaban tidak lagi hanya pada etnisitas tetapi merupaka isu global dan universal. ***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*