Tiga Tahun Perang Yaman

Smith Alhadar
Penasihat ISMES

Di tengah tekanan internasional atas operasi militer koalisi Arab pimpinan Arab Saudi di Yaman, pada 26 Februari lalu Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengeluarkan dekrit reformasi di tubuh militer dan perombakan beberapa pejabat tinggi pemerintahan. Selain mempromosikan beberapa jenderal dan pejabat tinggi yang dekat dengan Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) ke posisi puncak di institusi militer dan pemerintahan, langkah itu juga bertujuan mengubah strategi perang di Yaman guna memperbaiki citra Saudi di mata internasional menyusul dampak kemanusiaan di negara termiskin di Jazirah Arab itu.

Yaman tercabik-cabik perang sejak 2014 ketika milisi Houthi dukungan Iran, yang bersekutu dengan loyalis mantan presiden Ali Abdullah Saleh, menduduki sebagian besar wilayah negara itu, termasuk ibu kota, San’a. Saudi melancarkan serangan udara massif terhadap para pemberontak pada 21 Maret 2015, dengan tujuan memulihkan kekuasaan Presiden Abd Rabbuh Mansour Hadi yang diakui PBB. Sejak itu, AS dan Inggris membantu koalisi Arab dengan dukungan senjata dan logistik.

Keterlibatan pemerintah AS dan Inggris dalam perang telah mendorong Kongres AS dan Partai Buruh Inggris mendesak pemerintahan mereka agar segera menarik diri dari perang yang demikian menghancurkan itu. Memang perang Yaman telah menewaskan lebih dari 10 ribu dan melukai lebih dari 40 ribu orang. Yaman menghadapi krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Akibat blokade udara dan laut, lebih dari 75 persen penduduk – sekitar 22 juta jiwa – membutuhkan bantuan kemanusiaan. Adapun 11 juta orang benar-benar butuh bantuan segera agar bisa bertahan hidup. Juga, tak kurang dari dua juta jiwa terkena penyakit kolera yang telah membunuh seribu orang.

Pada 28 Februari, anggota Kongres menyampaikan rancangan resolusi yang menyerukan penghentian bantuan militer AS kepada koalisi Arab. Draf itu diajukan oleh beberapa Senator yang diniatkan untuk memanfaatkan ketentuan dalam UU Wewenang-wewenang Perang yang memberikan Kongres kekuasaan untuk mengesampingkan presiden dan menarik mundur pasukan jika Kongres yakin perang itu tidak dibenarkan. Karena Kongres tidak mendeklarasikan perang atau memberi kuasa pada militer dalam konflik ini, maka keterlibatan AS di Yaman tidak konstitusional dan tidak diberi wewenang serta dukungan militer AS pada koalisi Arab harus diakhiri.

Memang di bawah Konstitusi AS, Kongres merupakan satu-satunya institusi yang berhak mendeklarasikan perang. Rancangan resolusi serupa yang menyerukan pengakhiran perang di Yaman diajukan Kongres pada November 2017. Kendati lolos, resolusi itu tidak diimplmentasikan. Kongres beralasan banyak rakyat AS tidak mengetahui keadaan rakyat Yaman saat ini. Sebagian besar rakyat AS juga tidak menyadari bahwa bahwa pasukan AS terlibat aktif dalam mendukung koalisi Arab dalam perang ini, dengan memasok data intelijen dan pesawat-pesawat AS mengisi bahan bakar di udara pada pesawat-pesawat Saudi. Sementara Partai Buruh dan LSM HAM Inggris mendesak pemerintahan PM Theresa May menghentikan pasokan senjata kepada Saudi.

Sebenarnya Saudi telah punya keinginan untuk mengakhiri perang sejak tahun lalu akibat perkembangan perang yang tak diharapkan, prospek kemenangan yang menipis, biaya perang yang cukup besar di saat Saudi sedang kesulitan uang, dan makin lunturnya dukungan rakyat Yaman pada Mansour Hadi. Pada Mei 2017, MBS mengatakan kepada Martin Indyk (mantan Dubes AS untuk Israel) dan Steven Hadley (mantan penasihat keamanan nasional pada masa pemerintahan George W Bush) bahwa Saudi bermaksud mengakhiri perang. Ini diharapkan dapat dilakukan setelah rekonsiliasi dengan Iran. MBS pun menghubungi Baghdad untuk menjadi perantara bagi perbaikan hubungan Riyadh dan Teheran.

Namun, rekonsialisi yang direncanakan dimulai dengan pertemuan antara pejabat Iran dan Saudi di Moskow pada Juli tahun lalu gagal dilaksanakan karena Iran mensyaratkan Saudi terlebih dahulu menghentikan serangan terhadap Houthi dan tidak lagi bekerja sama dengan Israel. Sikap ini menunjukkan Teheran tidak bersedia berdamai dengan Riyadh karena tiga hal. Pertama, membuat Saudi sibuk mengurusi Yaman sehingga abai terhadap aktivitas Iran di Irak, Suriah, dan Lebanon. Kedua, menguras sumber daya ekonomi Saudi; dan ketiga, menghancurkan reputasi Saudi di mata internasional, terutama merusak legitimasi MBS di mata rakyat Saudi. Toh, perang Yaman merupakan inisiatif MBS untuk memproyeksikan kepemimpinan internal, regional, dan internasionalnya.

Dengan berlanjutnya perang, Saudi kian menghadapi protes internasional. Diberlakukannya blokade darat, laut, dan udara, yang lebih ketat atas Yaman sejak November silam — menyusul tembakan rudal balistik Houtrhi ke Riyadh — guna mencegah masuknya rudal balistik milik Iran justru membuat penderitaan rakyat Yaman makin memprihatinkan sehingga kecaman internasional terhadap Saudi meningkat berhubung bala bantuan kemanusiaan PBB tidak dapat dikirim kepada jutaan orang yang kelaparan di Yaman utara yang dikuasai Houthi.

Pada akhir Februari lalu, setelah panel ahli PBB memastikan bahwa rudal balistik itu buatan Iran, Inggris mengajukan rancangan resolusi yang mendesak DK PBB memberi sanksi atas Iran. Memang ada resolusi DK PBB yang melarang negara manapun memasok senjata kepada pihak-pihak yang bertikai di Yaman. Namun, Rusia memveto rancangan itu dengan alasan sanksi atas Iran akan mendestabilkan Timur Tengah. Di samping itu, panel ahli PBB tidak tahu negara mana yang memasok rudal itu kepada Houthi.

Nampaknya perang Yaman belum akan selesai dalam waktu dekat karena itu yang diharapkan Iran. Sementara pemerintah AS dan Inggris akan terus membantu Saudi agar stabilitasnya terjaga. Lagi pula kekalahan koalisi Arab di Yaman akan membuat Iran, melalui Houthi, menguasai Bab el-Mandeb, tempat lalu lalang lusinan tanker internasional dari Teluk ke Afrika, Eropa, dan AS.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*