
Ismail Suardi Wekke
STAIN Sorong & Divisi Riset ISMES
Dua puluh lima Nabi dan Rasul semuanya dilahirkan di tanah Arab. Ini dapat diartikan bahwa ada berkah tersendiri yang dimiliki wilayah Arab berbanding dengan tempat lain. Sekalipun itu sudah ditegaskan bahwa etnisitas kearaban tidaklah menjadi faktor utama yang menyebabkan seseorang mulia atau terhina. Dengan keunggulan tersebut, maka agama tauhid memiliki hubungan historis, sekaligus emosional dengan setiap jengkal tanah Arab.
Keberkahan itu juga yang menjadikan agama Tauhid untuk menjaga kesucian beberapa lokasi. Mekkah menjadi pusat kesucian itu, dimana Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail mewariskan Baitullah hingga sekarang. Tidak saja menjadi arah ibadah shalat, bahkan satu-satunya tempat yang menjadi rangkaian awal dan akhir ibadah haji. Tidak ada tempat yang memungkinkan untuk menunaikan haji, kecuali di Mekkah. Adapun Madinah hanya menyempurnakan arba’in.
Sementara saat ini, Tanah Arab juga menyimpan konflik yang teramat panjang. Saat tidaksatupun wilayah yang tidak merdeka, justru masih ada Palestina yang dirampas kemerdekaannya. Warga Palestina belum menikmati keamanan sesungguhnya. Wilayah mereka dikuasai oleh Israel. Dalam beberapa hal yang prinsip, mereka masih harus bergantung kepada budi baik Israel. Abad 21 justru masih menyimpan penjajahan. Padahal saat ini, teori kebebasan, hak asasi manusia, dan keseteraan sudah mencapai puncaknya jikalau tidak bisa dikatakan sempurna.
Belum lagi isu politik yang membawa urusan agama sebagai justifikasi. Muncullah pertentangan kelompok yang dinamakan Wahhabi dan Syiah. Walaupun sesungguhnya mereka tidak menyebut identitas dengan dua nama itu. Tetapi stereotype ini dilekatkan begitu saja. Iran yang mengusung Syiah dan Saudi Arabia yang dikatakan mewakili Wahhabi. Urusan pertentangan ini sampai pada soal ibadah haji. Tahun lalu, 2016, Iran bahkan tidak mengirimkan warganya untuk berhaji seorangpun. Ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kematian warga Iran di musim haji 2015.
Di Iraq, setelah penggulingan Saddam Husain, justru memperparah keadaan. Amerika Serikat bukannya datang menyelesaikan masalah. Justru menambah masalah baru. Kekerasan demi kekerasan terjadi karena dua hal, etnisitas dan paham beragama. Partai politik dibentuk berdasarkan etnisitas, ini berimbas sampai pada pemilihan posisi penting di legislatif dan eksekutif. Walaupun di zaman Saddam, warga Irak tidaklah menikmati kenyamanan secara total tetapi sekarang justru keadaan terkini tidak lebih baik berbanding denga era Saddam.
Begitu pula Libanon, Syiria, dan Sudan. Semuanya masih menyimpan ketegangan-ketegangan yang tak juga kunjung reda. Walaupun Libya, Iraq, dan Mesir sudah berganti pemimpin, kadang disebut sebagai musim semi Arab, tetapi tetap saja menyimpan masalah. Demikian pula dua hal secara kontras ditemukan. Ada beberapa negara yang bergelimang dengan kekayaan, di sisi lain ada juga yang harus bergelut dengan kemiskinan. Saudi dan Sudan, hanya berbeda huruf i, tetapi soal nasib tidak bisa dibanding-bandingkan.
Nasib, rejeki, dan kenikmatan hidup, semuanya menyimpan misteri. Sebagaimana perdamaian dan peperangan. Semuanya adalah kuasa Ilahi. Hanya saja, menyaksikan tanah Arab yang dikaruniai dengan limpahan kenabian dan kerasulan, masih ada ruang-ruang dimana para pemimpin Arab tanpa melihat status kesultana, kerajaan, emirat, dan republik, untuk berusaha membuktikan bahwa merekalah pewaris para nabi dan rasul sehingga perlu mengusahakan perdamaian. ***
Leave a Reply