Hidayat Doe
(Alumni Hubungan Internasional FISIP Unhas, tinggal di Depok)
Tampilnya Donald Trump di kursi kepresidenan Amerika Serikat akan membuat kekuasaan dan pengaruh AS di gelanggang internasional memudar. Kepemimpinan AS di bawah Trump lebih berfokus dalam urusan domestik. Kebijakan Trump di satu sisi hendak membenahi kondisi internal Amerika namun di sisi lain mendegradasi pengaruh dan kekuasaannya secara global.
Sementara di pihak lain, kekuatan dan pengaruh China di fora internasional kian melesat. Meski pertumbuhan ekonomi China terus menurun, namun hal itu tidak mengurangi peran dan pengaruhnya di level internasional.
Kebijakan Trump untuk memperbaiki kondisi dalam negeri AS sebenarnya positif, namun Trump tak bisa mengabaikan dinamika internasional. Hegemoni AS terlanjur mendunia. Trump tak bisa melupakan hal itu. Meskipun selama ini peran AS belum tertandingi oleh negara mana pun, namun kemerosotan ekonomi AS ditambah kebijakan Trump yang overproteksionis bukan tidak mungkin posisi AS di level internasional makin menepi.
Apalagi kekuatan dan pengaruh China makin tak terbendung. China dengan kebijakan luar negerinya, One Belt One Road (OBOR), posisinya kian menghegemoni secara ekonomi. Sadar atau tidak sadar benua Asia dan Afrika kini dalam genggaman China. Kebijakan OBOR dengan jalur sutranya akan memuluskan misinya di benua tersebut.
Kebangkitan China di Asia memang cukup tanggap disikapi oleh Obama. Lelaki keturunan Amerika-Afrika itu langsung menginisiasi Trans-Pacific Patnership (TPP) untuk mengimbangi pengaruh dan kekuatan China di Asia.
Namun strategi rebalancing Obama tampaknya akan diruntuhkan oleh Trump. Pengusaha properti dan hotel tersebut rupanya belum memahami politik internasional AS. Latar belakangnya yang minus politik dan pemerintahan akan membuat peran AS semakin memudar.
Sebagai negara superpower, Trump tak bisa mengucilkan diri di dunia internasional. Kebijakannya akan membuat pihak lain, khususnya China, semakin dominan. China memiliki ambisi menjadi imperium baru di era milinium ini.
Anehnya, Trump hendak berafiliasi dengan Rusia. Trump sungguh tak memahami politik realisme AS. Dari dulu hingga sekarang, AS dan Rusia terlibat perang kekuatan dan pengaruh. Trump tak paham, Rusia tidak ingin kehilangan pengaruh dan hegemoninya, utamanya di eropa dan Timur Tengah.
Kedekatan personal Trump dengan Vladimir Putin, presiden Rusia, tak bisa mengabaikan kepentingan nasional Amerika. Amerika sangat berkepentingan untuk membendung Rusia di eropa dan Timur Tengah tersebut.
Trump sepertinya akan dimanfaatkan secara taktis oleh Putin. Kedekatan Trump terhadap Putin akan menjadi kekuatan bagi Rusia sekaligus menjadi kelemahan AS.
Selama ini, Rusia telah diembargo oleh AS karena kasus pencamplokkan Crimenia, namun, di era Trump ini besar kemungkinan embargo tersebut akan dicabut. Trump sepertinya belum mempan dibisiki oleh penasehat keamanan dan militernya. Trump sedang unjuk gigi di AS. Ego pribadinya sedang mekar. Tapi pelan dan pasti Trump akan memahami bagaimana peran dan politik internasional AS. Seiring dengan itu, Trump akan mempertimbangkan kekuatan dan pengaruh negara lain.
Trump masih terbawa oleh ketakutannya atas diaspora imigran atau pendatang di AS, khususnya imigran dan pengungsi muslim. Trump tak sadar, AS pada asalnya adalah negeri kaum imigran.
Trump masih dikalahkan oleh perasaan sentimentilnya terhadap komunitas muslim. Ia masih saja bertahan dengan kebijakan populismenya. Trump barangkali sedang melunasi janjinya kepada pendukung dan konstituennya yang banyak beraliran ektrem kanan, utra kanan, yang kini sedang melanda negeri-negeri barat (Eropa Barat dan AS).
Isu populisme barat sebenarnya serupa masalah pendatang dan putra daerah di Indonesia atah Malaysia. Kesuksesan kaum pendatang di barat memunculkan anti globalisasi di sana. Kaum pendatang kebanyakan tumbuh dan sukses di negeri-negeri barat.
Globalisasi di satu sisi menjadi keuntungan besar bagi barat, namun di sisi lain menjadi ancaman bagi mereka. Mereka merasa banyak posisi-posisi dan pekerjaan telah diambil alih oleh pendatang.
Fenomena itu lalu dimanfaatkan oleh Trump untuk memenangkan pemilu di Amerika. Politik dan retorikanya lalu sukses mengantarnya menjadi presiden yang ke-45 di AS.
Kini, Trump dibayangi oleh kemelut urusan dalam negeri. Posisinya cukup mengkhawatirkan. Gelombang anti-Trump kian masif. Trump juga diperhadapkan oleh keputusan Hakim Federal yang menolak perintah eksekutif yang melarang warga enam negara yang mayoritas Islam memasuki wilayah AS.
Trump sedang berjibaku secara internal. Sementara negara-negara lain sedang menyusun strategi bagaimana bisa menepis dampak proteksionisme Amerika.
Banyak orang berargumen, yang paling banyak merasakan dampak fenomena Trump adalah China. Hal itu karena ekspor China ke AS sangat besar. China akan kehilangan pasar yang besar di AS.
Argumen itu ada betulnya, namun menurut saya, proteksionisme Trump tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian China. Ingat, China itu punya naluri dan strategi bisnis dan ekonomi yang kuat, kebijakan proteksionisme AS bisa diantisipasi dengan strategis.
Jauh hari sebelum Trump terpilih, China sudah merancang strategi ekonomi politik yang mantap. China punya basis ekonomi di hampir semua negara-negara Asia dan Afrika.
Negara-negara yang selama ini diembargo oleh AS seperti Korea Utara dan Iran, adalah pasar empuk dan lahan basah bagi China. China juga sudah memiliki kerja sama ekonomi yang kuat di negeri-negeri Afrika yang notabene kurang dlirik oleh kebanyakan negara lain, termasuk AS.
China bukan baru-baru ini berekspansi. Kebijakan ekonomi pasarnya telah melalang buana. Tak usah terlalu jauh, Indonesia sendiri telah menjadi bagian salah satu basis ekonomi China yang bisa memitigasi dampak proteksionisme Amerika.
Maka wajar, di tengah hiruk pikuk fenomena Trump yang anti-China, pihak otoritas China meresponnya dengan dingin. Pihak China sudah punya jawaban dan antisipasi yang membuat ekonominya tetap tumbuh positif, tidak mengalami kontraksi.
Hal yang membuat berang China terhadap Trump hanyalah urusan Taiwan. Bagi China, kebijakan “China One Policy” adalah harga mati yang harus dihormati oleh negara mana pun termasuk AS.
Pada akhir tahun lalu Trump sempat berkomunikasi secara langsung dengan presiden Taiwan melalui telepon, Kementerian Luar Negeri China sontak memprotes ke Amerika. Trump, presiden terpilih AS waktu itu dianggap telah melanggar kesepakatan bersama bahwa di dunia ini hanya ada satu China. Taiwan adalah salah satu bagian wilayah China.
Di luar urusan Taiwan, China tenang-tenang saja. Padahal dalam kebijkan proteksionisme AS, Trump berencana akan menerapkan pajak tinggi, sebesar 45 % terhadap setiap produk China yang masuk ke wilayah Amerika Serikat. Jika China memprotes hal itu, sah-sah saja, karena melanggar kesepakatan WTO yang melarang kebijakan proteksionis baik dalam bentuk tarif maupun non tarif.
Kita tunggu saja, jika Trump benar-benar akan merealisasikan retorika proteksionismenya bukan tidak mungkin China akan memprotesnya ke WTO. Sebagaimana baru-baru ini AS dan Selandia Baru menuntut Indonesia ke WTO atas tuduhan kebijakan proteksionis dalam produk hortikultura dan peternakan.
Sejarah akan membuktikan apakah Trump akan tetap konsisiten dengan kebijakan-kebijakan populisnya yang justru merugikan kepentingan nasional AS sendiri. ***
Greet Yat,