
Wirawan Sukarwo
Alumni Program Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Staf pengajar di Universitas Indraprasta dan Divisi Kajian Politik Timur Tengah ISMES
Jauh sebelum kita melihat narasi Obama dalam pidato perpisahannya tempo hari, Noam Chomsky pernah menceritakan kisah Thomas Jefferson yang melakukan hal yang kurang lebih serupa. Menjelang kematiannya pada 4 Juli 1826, Jefferson berbicara dengan penuh perhatian dan harapan tentang apa yang sudah dicapai. Ia juga mendorong rakyat untuk mempertahankan kejayaan demokrasi.
Naiknya Obama menjadi presiden Amerika Serikat pada 2008 menjadi ikon bagi nilai demokrasi yang digadang-gadang oleh negara itu. Seorang minoritas kulit hitam menjadi orang nomor satu di negara superpower dunia yang didominasi oleh ras Anglo Saxon kulit putih. Pesan moralnya sangat jelas, suksesi kepemimpinan dalam demokrasi ala Amerika tidak lagi berpatokan pada sensitivitas ras, melainkan kapasitas.
Sayangnya, bicara demokrasi Amerika Serikat ke dalam negeri akan sangat berbeda tatkala dibicarakan dalam konteks kebijakan di luar negeri. Khusus tentang Timur Tengah, Obama berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, ia harus mempertahankan supremasi Amerika Serikat di wilayah tersebut dengan tetap menerapkan standar ganda dalam demokrasi. Di sisi lain, Obama juga harus membuktikan bahwa kematangan demokrasi yang telah dicapai Amerika Serikat melalui kemenangan dirinya dapat juga didistribusikan dengan konsisten ke seluruh kawasan.
Selain sensasi Obama yang berkulit hitam, tidak ada lagi yang menarik dari proses pelantikan yang ia jalani, khususnya bagi masa depan Timur Tengah. Pidato yang ditunggu-tunggu saat itu tidak menyinggung sama sekali konflik yang sedang terjadi di Gaza. Padahal, poros permasalahan yang ada di Timur Tengah berpusat pada konflik Israel dan Palestina. Janji untuk menarik pasukan dari Irak dan Afghanistan juga tidak memberi efek yang signifikan pada kesejahteraan dua negara tersebut. Janji itu bukanlah suatu hal yang luar biasa dan berimplikasi pada proses transisi yang positif.
Proyek rekonstruksi pasca-perang yang dijalankan Amerika Serikat justru menempatkan korporasi-korporasi besar mereka di kawasan invasi. Ini adalah tujuan utama dari operasi militer yang digelar di Irak dan juga Afghanistan. Pada situasi semacam ini, keberadaan pasukan militer sejatinya memang sudah tidak diperlukan. Ditambah lagi, ada peraturan dari PBB dan Konvensi Genewa yang melarang negara penginvasi memiliki kepentingan jangka panjang di wilayah invasi. Amerika juga menghadapi tekanan dunia internasional yang menganggap alasan invasi mereka adalah kebohongan.
Di sisi lain, PBB mengamanatkan proyek rekonstruksi untuk membangun kembali ekonomi dan politik negara yang telah diinvasi. Amerika Serikat sebagai aktor utama invasi memenangihampir seluruh tender proyek rekonstruksi, mulai dari pengelolaan minyak sampai penyediaan air bersih. Khusus untuk masalah infrastruktur, Amerika juga melibatkan perusahaan-perusahaan penyedia jasa tentara bayaran (private military company) yang menggantikan peran militer resmi negara. Para tentara bayaran itulah yang menjadi pasukan penjaga aset bisnis Amerika di Irak pasca-invasi.
Kembali pada konteks demokrasi, invasi Amerika Serikat ke Irak didasari pada keinginan untuk memberikan kebebasan demokratis pada rakyat Irak dari cengkeraman rezim Saddam Hussein yang totaliter. Alasan ini diperkuat lagi dengan tuduhan Amerika bahwa Saddam Hussein mengembangkan senjata pemusnah massal yang mengancam stabilitas kawasan. Sampai pada akhir invasi, tuduhan terkait senjata pemusnah masal ini malah tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Namun, rakyat Irak sudah telanjur hancur lebur, terjebak dalam konflik sektarian yang tidak berkesudahan. Demokrasi yang diinisiasi melalui paksaan (invasi) dari luar terbukti tidak menghasilkan apa-apa selain kekacauan. Penarikan pasukan militer dari Irak menjadi seperti cuci tangan Obama pada dosa-dosa rezim George W Bush. Sementara itu, aset-aset bisnis mereka di Irak dijaga oleh perusahaan-perusahaan penyedia tentara bayaran.
Tidak hanya bermasalah dalam memaksakan demokrasi melalui peperangan, Amerika juga memiliki standar ganda dalam demokrasi di tataran pemaknaan. Standar ganda dalam demokrasi ini bahkan langsung dipraktikkanpada detik-detik awal kepemimpinan Obama. Prosesi inagurasi yang dijalankan Obama akhir tahun 2008 dulu bertepatan dengan operasi militer Israel ke jalur Gaza yang saat itu sudah menelan korban ratusan orang. Serangan militer tersebut merupakan buntut dari kemenangan Hamas dalam proses pemilu tahun 2006.
Hamas memenangi pemilu tersebut secara konstitusional dan demokratis. Namun, sikap politik Hamas yang konsisten menentang segala okupasi Israel di Palestina membuat kelompok ini menjadi momok bagi Israel. Di sisi lain, Israel adalah sekutu terdekat Amerika Serikat yang tentu saja harus diberikan jaminan stabilitas dan keamanan meskipun tindakan yang mereka lakukan melanggar hukum internasional. Di sinilah standar ganda itu terlihat secara terang-terangan.
Ketika gelombang Arab Spring muncul di kawasan Timur Tengah, Amerika Serikat mendapatkan ujian terberat dalam konteks distribusi nilai demokrasi mereka di kawasan tersebut. Termin Arab Spring (musim semi Arab) diasosiasikan pada merebaknya semangat demokratisasi di negara-negara Arab yang non-demokratis. Semangat ini digalang oleh kelompok-kelompok kelas menengah yang memiliki kesadaran kolektif untuk mengubah situasi politik di negara mereka ke arah yang lebih demokratis.
Pada titik ini, seharusnya Amerika Serikat memberikan apresiasi positif yang berujung pada kebijakan mendukung proses demokratisasi tersebut. Sayangnya, ukuran demokrasi bagi Amerika Serikat adalah persekutuan mutualisme yang terjalin dengan masing-masing negara. Sebuah negara yang tidak demokratis sekalipun, ketika negara tersebut membuka keran investasi dan menjadi sekutu dagang Amerika, maka tidak ada yang perlu dirisaukan. Kasus ini berlaku pada negara seperti Saudi Arabia dan beberapa negara Teluk yang jelas-jelas monarkis.
Sebaliknya, sebuah negara yang melaksanakan proses demokrasi dengan indikator pemilu yang adil, masih perlu diberikan satu syarat lagi agar mendapatkan dukungan. Syaratnya cukup sederhana, siapapun yang menang dalam proses pemilu tersebut, harus merupakan kelompok yang pro Amerika Serikat, baik secara politik maupun ekonomi. Hal ini yang sering disebut sebagai standar ganda demokrasi Amerika Serikat dalam kebijakan politik mereka di luar negeri.
Standar ganda Amerika Serikat dalam demokrasi tersebut kembali terbuktipada 2013 ketika gelombang Arab Spring sudah mencapai Mesir. Saat itu, Mesir menyelenggarakan pemilihan umum demokratis mereka yang pertama pasca kekuasaan rezim Presiden Husni Mubarak yang telah digulingkan melalui revolusi rakyatpada 2011. Pemilu tersebut berhasil menempatkan Mohammad Mursi dari partai Ikhwanul Muslimin sebagai presiden terpilih. Namun, belum satu periode kepemimpinan Mursi berjalan, pihak oposisi yang secara faktual berjumlah sedikit berhasil menggulingkan kekuasaan yang sah.
Gerakan masyarakat sipil yang menamakan diri Tamarod (pemberontak) mendapatkan sokongan penuh dari pihak militer saat itu. Secara terang benderang militer melakukan kudeta, lalu mengambil alih pemerintahan yang sah di Mesir. Demonstrasi masyarakat sipil kembali meledak demi menyelamatkan revolusi dan menentang kekuasaan junta militer di Mesir. Namun, pihak militer justru merespons secara represif segala aksi demonstrasi sekaligus menangkap para petinggi Partai Ikhwanul Muslimin demi mempertahankan kekuasaan mereka. Ujung dari kudeta militer ini adalah pembantaian ratusan demonstran yang melakukan aksi damai untuk mengembalikan kekuasaan Presiden Mursi. Ironisnya, Amerika Serikat bergeming dengan semua tragedi itu.
Kekuasaan junta militer, apalagi kudeta militer adalah hal yang sangat tabu dalam demokrasi. Dalam salah satu artikelnya, John Esposito mengkritik keras sikap pasif Amerika Serikat pada kudeta yang terjadi di Mesir. Ia menegaskan kalau rezim Obama harus paham bahwa ketika seorang presiden terpilih digulingkan secara paksa, lalu digantikan oleh presiden pilihan pihak militer, hal tersebut adalah murni kudeta. Supremasi sipil atas militer adalah pra-syarat demokrasi yang harus ditegakkan di manapun demokrasi dipraktikkan. Amerika Serikat sebagai sponsor utama demokrasi dunia seharusnya memperjuangkan tegaknya supremasi sipil di Mesir dengan menentang kudeta militer.
Gelombang Arab Spring yang mencapai klimaks dan anti-klimaks mulai dari Tunisia, Yaman, Libya, Bahrain, Mesir, sampai ke Suriah memberi kesibukan luar biasa pada rezim Barack Obama. Semua isu yang terjadi pada kawasan tersebut berkisar pada aspek demokratisasi, satu hal yang justru memberikan dampak positif pada perang global terhadap terorisme yang juga digawangi oleh Amerika Serikat. Pada aspek tertentu, demokrasi bisa menjadi medium deradikalisasi kelompok-kelompok teror yang kerap melatari tindakan mereka dengan jargon Islam.
Deradikalisasi tersebut dicapai tatkala elemen umat Islam yang berpotensi radikal mulai mendapatkan kepercayaan diri pada proses suksesi kepemimpinan melalui sarana demokratis seperti pemilu. Selaras dengan pandangan Riza Sihbudi, demokrasi bukanlah sistem yang terbaik bagi umat Islam, melainkan sistem yang paling memberi kemungkinan untuk menang. Ketika umat Islam menaruh kepercayaan pada proses demokrasi, maka secara gradual mereka akan meletakkan senjata dan mulai menata diri untuk berkontestasi dalam pemilihan umum yang damai.
Sebaliknya, ketika proses demokrasi yang telah dimenangkan tersebut dikudeta, maka potensi radikalisme di kalangan umat Islam akan semakin meningkat. Kepercayaan mereka akan runtuh seirama dengan kebencian mereka pada Barat (baca: Amerika Serikat) yang membiarkan kudeta tersebut. Momentum inilah yang menjadi krusial pada perkembangan kelompok-kelompok teror di Timur Tengah. Ironisnya, dalam pidato perpisahannya, Obama sendiri yang mengatakan bahwa kelompok yang menganggap demokrasi terbuka sebagai ancaman justru jauh lebih berbahaya dari ledakan rudal ataupun bom mobil.
Waktu berjalan, dan akhirnya kita mendapati Obama yang menangis haru seraya mengucapkan selamat tinggal pada kursi kepresidenan yang telah ia duduki selama dua periode. Dalam pidatonya, Obama juga mengkhawatirkan tren Islamophobia dan rasisme yang mulai meningkat belakangan ini. Beberapa pengamat mengatakan kalau pesan ini secara implisit ditujukan langsung kepada Donald Trump yang memang secara naratif memicu kekerasan bermotif SARA di Amerika.
Hal ini cukup aneh, mengingat angka kekerasan berbasis SARA di era Obama memang meningkat, bahkan jauh sebelum masa-masa pemilihan umum. Ada tagar #BlackLivesMatter yang menjadi viral di penjuru dunia sebagai bukti gentingnya isu rasisme di Amerika Serikat. Sebagai catatan, Obama dianggap gagal oleh para aktivis gerakan antirasisme karena tidak secara tegas memberikan respons terhadap kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga kulit hitam. Bahkan, Obama tidak pernah menghadiri satupun upacara pemakaman korban kekerasan rasial tersebut.
Meski demikian, dalam pidato perpisahan, Obama terus-menerus mengingatkan publik Amerika tentang pentingnya menegakkan kembali nilai-nilai demokrasi yang tidak lagi membeda-bedakan ras, agama, dan kelompok. Narasi yang secara substantif pernah juga disampaikan oleh Thomas Jefferson. Semua itu tentu saja baik untuk publik dalam negeri Amerika Serikat. Namun, disiplin penegakan nilai demokrasi tersebut seringkali berujung pada pragmatisme tatkala harus didistribusikan ke luar negeri, khususnya kawasan Timur Tengah. ***
Leave a Reply