MIMPI BURUK DI GHOUTA DAN AFRIN

Smith Alhadar
Penasihat The Indonesian Society for middle East Studies (ISMES)

Sejak 18 Februari, Ghouta Timur di pinggiran Damaskus, berubah menjadi neraka. Serangan tanpa belas kasihan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad — dibantu serangan udara Rusia — menghancurklan kota-kota di Ghouta Timur yang dikuasai pemberontak Jais al-Islam, Faylaq al-Rahman, dan Hay’at Tahrir al-Syam. Saat tulisan ini ditulis, sudah hampir 1.000 warga sipil yang tewas. Yang cedera tentu jauh lebih banyak. Yang mengerikan, sebagian anak-anak tewas oleh serangan senjata kimia berupa gas klorin oleh pasukan rezim Assad. Di saat yang sama, militer Turki – dibantu Tentara Pembebasan Suriah (FSA) – mengintensifkan serangan terhadap kawasan Afrin di barat laut Suriah untuk menghancurkan Unit Perlindungan Rakyat (YPG), milisi Kurdi. Tapi yang lebih banyak jatuh korban adalah rakyat sipil.

Untuk melindungi rakyat sipil di Ghouta Timur dan Afrin, pada 24 Februari Kuwait dan Swedia mengajukan rancangan resolusi DK PBB yang menyerukan gencatan senjata di seluruh Suriah selama 30 hari untuk memungkinkan evakuasi rakyat sipil yang terluka dan menyalurkan bantuan makanan dan obat-obatan bagi mereka yang terperangkap dalam perang. Namun, Rusia tak mendukung resolusi itu sampai DK PBB mengubah redaksinya. Awalnya resolusi menyerukan pihak-pihak bertikai memulai melaksanakan gencatan senjata dalam waktu 72 jam. Atas tuntutan Rusia, kalimat “dalam waktu 72 jam” diganti dengan “tanpa penundaan” dan kata “segera” dihapus dalam rekomendasi penyaluran bantuan dan evakuasi. Juga, resolusi mengecualikan kelompok al-Qaeda, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), dan individu serta organisasi yang berkaitan dengan mereka. Tapi dengan perubahan redaksi ini Resolusi DK PBB 2401 itu justru menjadi multitafsir yang menjustifikasi rezim Suriah dan Rusia terus membombardir Ghouta Timur. Memang Jais al-Islam dan Faylaq al-Rahman yang didukung Arab Saudi dipandang sebagai kelompok moderat. Namun, Hay’at Tahrir al-Sham, yang merupakan kumpulan faksi-faksi radikal dengan tulang punggung Jabhat Fath al-Sham — dulu bernama Front al-Nusra – berafiliasi dengan al-Qaeda. Yang membuat Suriah dan Rusia mengeneralisasi semua faksi di Ghouta Timur sebagai kelompok teroris adalah karena Jais al-Islam dan Faylaq al-Rahman sering bekerja sama dengan Hay’at Tahrir al-Syam dalam menghadapi musuh bersama: rezim Assad.

Resolusi DK PBB 2401 juga tak diindahkan Turki. Ankara berpendapat YPG, yang merupakan kepanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), merupakan kelompok teroris. Memang Uni Eropa dan AS juga menetapkan PKK yang beraliran Marxis itu sebagai kelompok teroris. Tapi terkait YPG, AS berpendapat lain. Kelompok yang dilatih dan dipersenjatai AS itu – yang selama ini dipakai AS untuk memerangi ISIS di Suriah – tidak dianggap sebagai kelompok teroris. Apapun, Turki khawatir, Partai Demokrasi Kurdistan (PYD), yang merupakan sayap politik PYG, akan mendirikan negara federal di perbatasan Turki yang membentang dari Suriah utara hingga timur laut. Hal ini akan mendorong lebih kuat gerakan separatis PKK yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.
Serangan gencar pasukan Suriah dan Rusia atas Ghouta Timur tanpa kesanggupan DK PBB untuk menghentikannya dengan sendirinya memuluskan serangan Turki atas Afrin. AS tidak dapat berbuat banyak terhadap Turki karena negara ini anggota NATO. Turki juga sangat strategis dalam perang AS melawan kelompok teroris maupun negara musuh AS di Timur Tengah. Pangkalan udara Incirlik, Turki, sangat berjasa dalam dua kali perang AS melawan rezim Irak di bawah Presiden Saddam Hussein. Kini Incirlik berfungsi sebagai pangkalan angkata udara AS dalam perang melawan ISIS. Di masa yang akan datang, Incirlik akan berperan besar dalam upaya AS mengusir milisi-milisi Syiah dukungan Iran di Lebanon, Suriah, dan Irak. Bahkan, kemungkinan AS bentrok senjata dengan Iran pasca Washington membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran pada Mei mendatang.

Rezim Suriah dan Rusia ngotot menundukkan kelompok pemberontak di Ghouta Timur karena wilayah ini sangat dekat dengan ibu kota, Damaskus. Jais al-Islam, Faylaq al-Rahman, dan Hay’at Tahrir al-Syam memanfaatkan kedekatan jarak untuk meluncurkan rudal ke Damaskus. Hal ini berdampak psikologis pada warga ibu kota. Alasan lain, Damaskus ingin memperkuat daya tawarnya vis a vis pemberontak dalam perundingan perdamaian di Genewa, Astana (Kazakhstan), atau Sochi (Rusia), kelak. Sejak Rusia ikut intervensi dalam perang proksi di Suriah pada 2015, banyak kota Suriah yang berhasil diambil alih pasukan Assad. Bila Ghouta Timur jatuh, diharapkan rezim Assad dapat memaksakan perdamaian pada sisa pemberontak di Idlib (barat laut), Deraa (selatan), dan Rajova (utara sampai timur laut) sesuai keinginan Damaskus. Turki menghancurkan YPG di Afrin, yang akan diikuti serangan terhadap kota lain yang dikuasai YPG, guna membuyarkan mimpi PYD/YPG mendirikan negara federal Kurdi.

Perang di Ghouta Timur dan Afrin akan berlangsung relatif lama. Di Ghouta Timur, pemberontak bertekad menghadapi musuh hingga tetes darah penghabisan karena tidak ada pilihan lain. Evakuasi ke Idlib terlalu jauh dan di sana mereka tak memiliki pangkalan militer. Derraa memang dekat dengan Ghouta, tapi wilayah yang diduduki pemberontak dukungan Yordania, AS, dan Israel, tidak menghendaki masuknya pemberontak lain yang akan mengganggu stabilitas wilayah itu. Pemberontak juga tidak dapat boyong ke Suriah utara yang dikuasai militer Turki yang membatasi pergerakan pemberontak lain, selain FSA. Di Afrin, warga sipil juga akan menghadapi mimpi buruk yang panjang mengingat tidak mudah bagi Turki menghadapi YPG. Jumlah mereka cukup besar. Untuk menghadapi musuh, anggota YPG dari berbagai tempat terus mengalir ke Afrin. Memang sangat mungkin rezim Suriah dan Turki memenangi perang. Namun, kemenangan mereka harus dibayar dengan kehancuran kota dan massifnya kematian rakyat sipil.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*