
Smith Alhadar
Penasihat ISMES
Pada 30 Juli 2017, ulama Syiah Irak yang berpengaruh, Ayatullah Muqtada al-Sadr, melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Di sana ia bertemu Putera Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman di Jeddah. Kunjungan ini diharapkan mencairkan hubungan tegang Irak-Saudi selama 27 tahun menyusul invasi rezim Saddam Hussein ke Kuwait (1990). Lebih jauh, kedua belah pihak ingin meredakan konflik sektarianimse antara Sunni dan Syiah yang merebak belakangan ini dan meningkatkan kerja sama ekonomi Irak-Saudi. Riyadh berjanji akan berinvestasi di Irak selatan yang merupakan wilayah pengaruh Sadr yang dihuni kaum Syiah. Dua minggu kemudian, Sadr mengunjungi Uni Emirat Arab (UEA). Ia bertemu Putera Mahkota Abu Dhabi Sheikh Muhammad bin Zayad al-Nahyan dan para ulama terkemuka di Abu Dhabi. Mereka bicara tentang kerja sama ekonomi dan pelurusan pemahaman antara Sunni dan Syiah.
Kunjungan Sadr terjadi di tengah semakin memburuknya hubungan Saudi dan UEA di satu pihak dan Iran di pihak lain serta hubungan tegang Sadr-Iran. Hubungan diplomatik Iran-Saudi putus pada Januari 2016 sebagai ekses eksekusi mati ulama terkemuka Syiah Saudi, Sheikh Nimr Baqir al-Nimr, oleh Saudi. Sebagai ungkapan solidaritas dengan Saudi, UEA menurunkan tingkat hubungan diplomatik dengan Iran. Hubungan Saudi-UEA dengan Iran semakin memburuk terkait krisis Qatar. Pada 5 Juni, Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Mereka menuntut Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran sebagai salah satu dari tiga belas syarat bagi pemulihan hubungan diplomatik mereka dengan Qatar.
Hubungan Sadr-Iran memburuk menyusul tuntutan Sadr agar pemerintah Irak membubarkan milisi Syiah Hashid al-Shaabi, yang merupakan kekuatan militer Iran di Irak. Hashid al-Shaabi dibentuk Iran pada 2014 segera setelah berdirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Milisi ini terlibat dalam hampir semua pertempuran melawan ISIS di kota-kota Irak, termasuk perang pembebasan Mosul. Kini mereka sedang mengepung kota Tal Afar yang masih dikendalikan ISIS. Meskipun sangat membantu dalam perang melawan ISIS, tak jarang Hashid al-Shaabi menciptakan horor di kota-kota yang dihuni kaum Sunni pasca pembebasannya. Hal ini menciptakan keprihatinan tokoh Syiah sekuler dan nasionalis seperti Iyad Alawi dan Sadr. Yang membuat Iran semakin marah, sekembalinya dari Saudi, Sadr mendesak Assad mundur. Padahal Iran telah menghabiskan miliaran dollar AS dan nyawa pasukannya dalam mendukung Assad.
Tak pelak, kemesraan Sadr dengan Saudi dan UEA bertujuan menggembosi pengaruh Iran di Irak. Sadr memiliki pengikut dari komunitas urban yang miskin di Baghdad dan kota-kota di selatan. Pengaruh besar Sadr dapat dilihat dari demonstrasi puluhan ribu orang yang dikerahkan Sadr beberapa waktu lalu untuk menuntut reformasi birokrasi, perubahan UU pemilu, dan pemberantasan korupsi. Ia juga memimpin milisi Saraya al-Salam (Brigade Perdamaian) setelah membubabarkan Tentara al-Mahdi. Perubahan nama dan orientasi milisi ini disesuaikan dengan perubahan sikap dan pandangannya dari ulama Syiah garis keras menjadi tokoh nasionalis untuk bisa diterima negara-negara Arab di kawasan. Di masa lalu, Tentara Mahdi terlibat perang sengit dengan pasukan AS di Irak pasca kejatuhan Saddam Hussein. Ia pun sempat dekat dengan Iran. Tetapi cengkraman Iran atas Irak dan pembentukan Hashid al-Shaabi yang menggeser peran Tentara Mahdi membuat Sadr bercerai dengan Iran.
Saudi dan UEA memanfaatkan hubungan dengan Sadr untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sesungguhnya hubungan Sunni –Syiah tidak bermasalah. Mereka menentang Iran bukan karena Syiah-nya tetapi Iran dipandang mencampuri urusan dalam negeri negara lain, mendestabilkan kawasan, dan menjalankan politik sektarian seperti yang dilakukan di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, Bahrain, dan Saudi. Di samping itu, hubungan dengan Sadr penting untuk menenangkan warga Syiah Saudi yang memiliki hubungan tegang dengan pemerintah. Selain eksekusi terhadap Sheikh Nimr, awal Agustus lalu militer Saudi menghancurkan Awamiyah, perkampungan Syiah di kota Qatif berusia 400 tahun, yang dijadikan basis para pemberontak Syiah. Ini memperburuk hubungan pemerintah dengan warga Syiah – sekitar 10 persen dari total penduduk Saudi – yang sudah buruk akibat perlakukan diskriminatif Riyadh terhadap mereka.
Sadr juga memanfaatkan hubungan ekonomi dengan Saudi dan UEA untuk keperluan pemiliu tahun depan. Akibat Perang Teluk (1991), embargo ekonomi PBB selama 13 tahun (1990-2003), perang sektarian pasca invasi AS (2003-2011), perang melawan ISIS (2014-sekarang), anjloknya harga minyak dunia, dan korupsi pemerintahan yang tak terkendali, Irak jatuh miskin. Diperlukan ratusan miliar dollar AS hanya untuk sekadar memulihkan infrastruktur dasar Irak. Komitmen Saudi dan UEA untuk berinvestasi miliaran dollar AS di kota-kota selatan — yang kurang terdampak perang melawan ISIS – diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan warga yang akan semakin mengangkat nama Sadr untuk kepentingan elektoral. Sadr dukungan Saudi dan UEA akan bertarung melawan loyalis Iran.
Bagaimanapun, desakan Sadr agar Baghdad membubarkan Hashid al-Shaabi menyulitkan Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi. Abadi ingin mempertahankan hubungan baik dengan Teheran untuk menjaga stabilitas pemerintahannya. Meskipun sebagian rakyat Irak cemas dengan besarnya pengaruh Iran di negaranya, masih banyak pendukung Iran di pemerintahan Irak. Memang Abadi juga telah meningkatkan hubungan baik dengan Saudi. Setelah kunjungannya ke Riyadh Juni silam, Saudi menjanjikan bantuan ekonomi serta membuka kembali pos perlintasan Saudi-Irak setelah ditutup selama 27 tahun. Jamaah haji Irak pun telah menggunakan perlintasan itu untuk perjalanan ke Mekkah.
Kunjungan Abadi ke Riyadh sebagai balasan kunjungan Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir ke Baghdad pada Februari lalu guna membahas hal-hal yang telah dibicarakan dengan al-Jubeir. Saudi ingin menarik kembali Irak ke pelukan negara Arab dan menjauhi Iran. Apalagi Irak adalah anggota Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) yang diperlukan Saudi untuk berkoordinasi menentukan harga minyak dunia. Kendati menyambut pemulihan hubungan dengan negara-negara Arab, Abadi mempertahankan sikap netral Irak vis a vis Iran. Tak heran, ia menolak pembubaran Hashid al-Shaabi. Terlebih ia membutuhkan Iran dalam pemilu dan rencana etnis Kurdi Irak melangsungkan referendum kemerdekaan pada 25 September mendatang. Baghdad menentang referendum yang bisa dipastikan akan membuat wilayah Kurdi di utara yang kaya minyak akan terlepas dari pemerintahan Baghdad. Iran pun akan mencegah agar rencana referendum itu dibatalkan. Kemerdekaan Kurdi di Irak akan memberi inspirasi pada Kurdi Iran – yang sudah sangat lama ingin memiliki negara sendiri – untuk juga memberontak melawan Teheran. Pasca Perang Dunia II, Kurdi Iran pernah memproklamirkan berdirinya negara Kurdi di Mahabad, barat laut Iran, sebelum dilindas tentara Iran.
Desakan Sadr agar Presiden Bashar al-Assad mengundurkan diri untuk menghindari perpecahan umat Islam adalah bagian dari penentangannya terhadap Iran sekaligus mengakomodasi aspirasi politik Saudi. Sebagaimana diketahui, Riyadh mendukung kelompok-kelompok pemberontak Sunni. Tak heran, Iran marah besar. Keluarga Sadr adalah keluarga keturunan ulama yang masyhur di dunia Syiah. Salah satu pamannya, almarhum Ayatullah Muhammad Baqir Sadr, adalah ulama, filosof, dan intelektual Syiah terkemuka, yang karya-karya tulisnya banyak dibaca di dunia Arab. Maka Iran khawatir, permusuhan Sadr terhadap rezim Suriah ditakutkan akan melemahkan dukungan kaum Syiah terhadap keterlibatan Iran di sana.
Sebenarnya rezim Suriah adalah rezim nasionalis-sekuler. Banyak pejabat Suriah berasal dari tokoh nasionalis Sunni. Memang Presiden Bashar al-Assad dan tokoh-tokoh militer kunci berasal dari minoritas Syiah Alawiyah. Tapi Iran sendiri, yang memeluk Syiah Itsna Asyariyah, menganggap Alawiyah telah keluar dari Islam. Sekte ini menggabungkan ajaran Trinitas dan Reinkarnasi kedalam doktrin Alawiyah yang menempatkan Ali b. Abi Thalib sebagai Tuhan Bapa. Persekutuan Iran-Suriah tak lebih dari hitung-hitungan geopolitik. Iran membutuhkan Suriah untuk mendapatkan akses ke Hizbullah di Lebanon dan membendung Israel. Sedang rezim Assad membutuhkan Iran untuk menopang Damaskus dalam Perang Saudara, mengimbangi Israel, dan mendapatkan kekuatan tambahan dalam percaturan politik Timur Tengah.
Namun, selain Iran, Sadr akan menghadapi tantangan AS yang ingin memainkan peran besar di Irak pasca ISIS. Sadr dikenal sangat anti-AS. Pengaruhnya yang membesar di Irak dan dunia Arab akan menghambat agenda AS dan Iran. Alhasil, manuver Saudi dan UEA akan sia-sia bila Sadr tidak cukup bijaksana dalam menempatkan dirinya dalam permainan politik internal, regional, dan internasional di tengah pusaran politik Irak yang rawan dan kompleks.***
Editor: Fahmi
Leave a Reply