
Oleh Yanuardi Syukur
Sekjen ISMES
Sebuah Pengantar
Pada tahun 1997, Budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam bukunya Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, menulis bahwa reklamasi pantai Marunda akan menambah wilayah darat DKI Jakarta sekitar 3000 hingga 6000 hektar. Saidi menulis agak satir terkait project tersebut, “…Sebuah waterfront city akan berdiri di pantai utara Jakarta. Gedung-gedung megah menjulang angkasa. Duduk di kursi salon di teras condo seraya menghisap cerutu dan pandangan mata lepas bebas menjilat samudera, alangkah asyiknya. Angin laut, matahari yang tergelincir di ufuk barat, dewi malam yang muncul dari balik awan gemawan dengan kemalu-maluan, adalah panorama yang pantas disajikan untuk para selebriti.”
Kata Saidi lagi, reklamasi pantai utara Jakarta mengisyaratkan bahwa modernisasi fisik ke selatan sudah mentok dan nilai jual pantai lebih tinggi dari pada pepohonan ijo royo-royo yang di masa kini dapat disubstitusi dengan plastik. Walau begitu, kata Saidi, “aspek pemerataan pembangunan perlu dipikirkan secara matang agar reklamasi pantai tidak justru menggali jurang kaya-miskin menjadi makin dalam.” Indikasi ketimpangan tersebut, kata Saidi, dapat dilihat jika nelayan tidak bisa lagi melaut; kuli panggul pelabuhan kehilangan pemukiman; bila tukang ojek sepeda kehilangan penumpang; dan bila kaki lima kehilangan tempat berdagang (Saidi, 2011: 43-44)
***
Akhir-akhir ini bangsa kita tengah disibukkan dengan masalah penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ada pro dan ada kontra. Aksi terakhir, 411 dan 212 (dengan jumlah massa yang diperkirakan sekitar 7juta orang)—belum lagi solidaritas dari wilayah lain di Indonesia—membuat kasus Ahok menarik untuk terus dibahas. Sementara itu, aksi 412 yang diadakan di Bundaran Hotel Indonesia tak bisa dilepaskan pula dari anggapan sebagai “tandingan” aksi 212 sebelumnya.
Kenapa kasus Ahok begitu menyita perhatian kita? Dalam beritanya di New York Times (NYT), “Indonesia Says Jakarta’s Christian Governor is Suspected of Blasphemy” (15 November 2016), Joe Cochrane menyematkan Ahok dengan label Gubernur Kristen (Christian Governor) yang ditargetkan oleh organisasi-organisasi radikal Islam sejak Ahok berkantor pada 2014. Target kepada Ahok semakin berkembang terkait dengan ucapan dia “jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51” di Kepulauan Seribu yang dianggap melakukan penistaan agama, dilaporkan, dan akhirnya menjadi tersangka.
Aksi 411 (dan juga 212) tidak bisa dilepaskan dari gerakan politik organisasi-organisasi Islam karena gerakannya sangat sentral untuk pengadilan Ahok. Mengutip Azyumardi Azra, jika melihat poster para demonstran tidak ada yang secara spesifik terkait pelarangan alcohol, gay dan lesbian sebagaimana yang umum dilakukan oleh organisasi Islam. Berdasarkan itu, kata Azra, gerakan 411 kemarin–bahkan juga untuk 212—adalah murni politik yang digunakan oleh organisasi Islam lewat Al-Maidah 51 untuk menekan Presiden Jokowi (NYT, 13/11/2016). Tapi, walau terlihat “murni politik”, tidak bisa dimungkiri juga bahwa semangat emosi keagamaan bermain sangat besar di sini. Jalan dari Ciamis ke Jakarta, sebagai contoh, tentu saja tidak politis, akan tetapi sangat agamis.
Dari DKI ke RI 1
Siapa yang menang di Pilkada DKI tahun 2017 akan punya kans yang cukup bagus untuk melaju pada Pilpres 2019. Jika Ahok yang menang dan mulus menjalani “takdir”-nya sebagai Gubernur, maka ia dapat mempersiapkan diri menjadi Calon Presiden RI tahun 2017. Tapi jika Ahok tumbang di 2017, dan Agus Yudhoyono yang menang besar kemungkinan ia juga akan melaju menjadi Calon Presiden RI tahun 2017.
Bayangkan: Agus masih muda, cerdas, tampan, lulusan Amerika (Harvard University), anak mantan presiden dua periode yang tidak mungkin mengorbankan karir Agus jika hanya dapat “sekedar” Gubernur. Jika Anies yang menang Pilpres, bisa jadi ia juga akan mencalonkan diri tapi rasanya Anies akan memberikan peluang jadi presiden kepada yang lain. “Pilkada rasa pilpres” (Kompas, 23 September 2016) ini terasa betul sebagaimana ucapan Ahok bahwa ia ingin menjadi presiden, dan persiapan Agus untuk melangkah ke situ. Langkah Gubernur sebelumnya yang telah jadi presiden paling tidak jadi “teladan” untuk itu.
Resistensi Ulama
Melihat kondisi bangsa terutama Jakarta yang tidak terlihat tidak adil, (secara umum: tidak bersyariah), sebelum Ahok “ditakdirkan” bawa-bawa Al-Maidah 51 untuk menyudutkan para ulama, maka para ulama kemudian berinisiatif untuk menjaring para tokoh muslim sebagai Calon Gubernur untuk melawan Ahok. Kalimat Ahok “jadi jangan percaya sama orang” dan “dibohongin pakai surat Al-Maidah” mengandung kritikan keras Ahok kepada ulama yang menggunakan Al-Maidah 51 untuk menjegal dirinya.
Bagi orang Islam, ada keyakinan bahwa memilih memimpin muslim adalah utama, bahkan wajib, maka di titik ini Ahok adalah lawan yang harus di-downgrade agar tidak terpilih. Berbagai elemen di Jakarta telah habis-habisan juga membuktikan bahwa Ahok terlibat dalam berbagai kasus seperti RS. Sumber Waras, akan tetapi tidak mempan untuk itu. Maka, aksi penolakan terhadap Ahok pun terus berkembang lewat sosmed yang di-back up oleh para ulama yang familiar di televisi. Aksi 212, yang bertujuan untuk penjarakan Ahok adalah “berkah” karena dihadiri oleh berbagai elemen bangsa tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya tapi juga se-Indonesia. Pada titik ini, kita semua menunggu bagaimana hasil persidangan Ahok yang seadil-adilnya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa gerakan 411 dan 212 juga melibatkan faktor ras dan agama. Etnik Cina saat ini menjadi “bulan-bulanan” di berbagai sosial media karena dianggap sebagai ancaman bangsa seiring dengan kedatangan warga Cina di Indonesia sebagai tenaga kerja atau sebagai penguasa berbagai tanah dan bisnis di tanah air. Dalam hal kepemimpinan, masyarakat Indonesia sebenarnya tidak begitu resisten terhadap pemimpin Kristen (atau non-muslim secara umum), akan tetapi pembawaan Ahok yang terkesan sombong dan menggusur warga Jakarta (umumnya Muslim) menjadi suatu catatan buruk tersendiri. Jakarta sebagai kota yang paling padat di Indonesia dihuni oleh sekian banyak orang Islam yang mencari nafkah, akan tetapi di antara mereka ada yang menempati tanah-tanah pemerintah yang jika pemerintah hendak membongkarnya maka hal itu akan merugikan para warga baru tersebut. Bawaan Ahok yang terlalu keras juga dianggap sebagai salah satu contoh tidak bijaksana dari seorang pemimpin. Apalagi, dikabarkan bahwa Ahok dibekingi oleh para taipan Cina yang merebut pengaruh bisnis di negeri ini salah satunya dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Tuntutan agar Ahok diadili tidak terlepas dari pandangan bahwa Ahok yang terindikasi juga melakukan korupsi. Dalam demonstrasi pada 4 April 2016, Habib Rizieq berkata, “Jadi, korupsi itu membunuh rakyat miskin. Gara-gara korupsi rakyat sengsara.” Ia menegaskan bahwa demo yang ia lakukan merupakan gerakan moral untuk mendesak KPK agar menangkap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dalam dua kasus sekaligus, yaitu kasus pembelian lahan milik Yayasan Rumah Sakit Sumber Waras senilai Rp 800 miliar dan reklamasi pantai utara Jakarta. Aksi tersebut kata Rizieq lagi bukan karena faktor rasis dan fasis, akan tetapi karena faktor korupsi. Jika KPK tidak mau menangkap Ahok, kata dia lagi, maka ia akan bersama jutaan massa aksi akan menangkap Ahok di rumahnya bersama jutaan orang menggelar pengadilan rakyat di Monas (Republika, 4 April 2016). Aksi 212 membuktikan bahwa ucapan Habib Rizieq benar, bahwa ia akan menggelar sebuah “acara besar” di Monas, akan tetapi tidak dalam bentuk pengadilan rakyat yang dipahami secara literal. Lewat doa dan kehadiran umat Islam yang berbondong-bondong telah menjadi bukti bahwa kasus Ahok sangatlah mendesak untuk dituntaskan.
Waspadai Proxy War
Sebagai anak bangsa, kita semua pasti masih ingat statement Panglima TNI bahwa perang proxy (proxy war) mengancam Indonesia (Kompas, 19 Mei 2016). Menurut beliau, perang tersebut tidak terlihat siapa kawan siapa lawan, akan tetapi perang tersebut dikendalikan oleh negara lain. Tujuannya tentu saja agar menguasai Indonesia. Dalam banyak kesempatan, statement tersebut juga diungkapkan oleh Panglima yang terkesan bahwa itu bukan sesuatu yang tidak ada, tapi ada (cuma tidak kelihatan atau tidak terasa).
Maka, perdebatan antara mereka yang–sebutlah anti-Ahok versus pro-Ahok–bisa menghabiskan energi bangsa kita untuk saling marah-marahan, sebar-sebar berita hoax yang tidak produktif untuk kebangkitan bangsa. Contoh sederhana, ikatan pertemanan di sosmed jadi lepas hanya karena beda pandangan terhadap kasus Ahok. Tentu, hal itu sangat disayangkan. Soal Ahok–sekali lagi–kita percayakan pada aparatus hukum untuk bertindak yang adil, namun masyarakat sipil tetap mengawasi pengadilan tersebut secara baik.
Jaringan Sosial Ulama Jakarta
Dalam solidaritas 212 terlihat adanya kesadaran bersama (collective conscience) yang menjadi sentiment keagamaan sehingga “nafas” aksi tersebut tidak mudah padam sebelum Ahok dipenjara. Ada nilai-nilai fundamental yang menjadi acuan bersama para demonstran agar para penista agama dihukum karena ia merusak kerukunan bersama. Agama, dalam hal ini memang harus dilihat tidak sekedar sebagai institusi, akan tetapi sebagai “penolong yang menjaga keteraturan sosial” (Kottak, 2015: 241). Tapisoal solidaritas keagamaan ini tak bisa berdiri sendiri, karena berkaitan sekali dengan politik.
Kita memahami bahwa masyarakat terdiri atas jaringan saling-kenal yang saling kompleks. Hubungan sosial yang berkelanjutan, berulang, dan antara keduanya terikat satu sama lain dengan seperangkat harapan yang relatif stabil. Di antara masing-masing pihak tercipta semacam kesepakatan tentang “bagaimana pihak yang satu harus bersikap, bertindak dan berperilaku terhadap pihak yang lain” (Agusyanto, 2010: 49). Aksi 212 kemarin telah mengaitkan satu simpul dengan simpul lainnya untuk sama-sama bersatu dalam sebuah gerakan yang begitu solid.
Hubungan sosial dapat dilihat sebagai jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang dengan orang-orang lain. Hubungan sosial adalah modal sosial yang dapat dilihat sebagai proses reproduksi dan rekonstruksi sosial yang terus-menerus dalam kehidupan manusia. Jadi, premis dasar dari hubungan sosial adalah investasi dalam hubungan. Ketika Ahok mengatakan bahwa Jokowi memang Pilpres karena bantuan para pengembang (developer), itu berarti bahwa ada investasi dari para pengembang yang kelak akan mereka tagih setelah Jokowi berkuasa. Reklamasi Pulau G adalah bagian dari tagihan atas “investasi” yang telah ditanam kepada Jokowi dan tentu saja juga Ahok.
Menurut Van Poucke (1980), jika ditinjau dari tujuan hubungan sosial, ada tiga jenis jaringan sosial, yaitu: jaringan kekuasaan (power network), jaringan sentiment (sentiment network), dan jaringan kepentingan (interest network). Masing-masing jenis ini memiliki logika situasional yang berbeda satu sama lainnya (Agusyanto, 2010).Power network terbentuk bila terdapat target untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat dilepaskan dari imbalan atau ganjaran tertentu untuk menciptakan kepatuhan. Kemudian sentiment network terbentuk atas hubungan-hubungan sosial yang bersifat melibatkan perasaan pertemanan, percintaan, persahabatan, tahan lama dan memiliki sifat timbal-balik (resiprokal). Sedangkan interest network terbentuk atas hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang jika seseorang telah mendapatkan apa yang ia kehendali maka hubungan tersebut tidak berkelanjutan (Agusyanto, 2010).
Kehadiran Habib Rizieq sebagai pemimpin utama tidak lepas dari kepemimpinan ulama di kalangan Betawi. Pemimpin orang Betawi yang disegani dan diikuti kepemimpinannya adalah guru dan muallim (Saidi, 2011). Secara singkat, muallim adalah pembimbing rohani dan pemimpin spiritual masyarakat yang menunjukkan jalan kebaikan (jalan kebae’an) kepada masyarakat. Guru Mansur (1878-1967) misalnya, adalah contoh ulama pejuang Betawi yang selalu bersorban dan berjubah putih dengan pidato yang lancar. Tampilnya para ulama seperti Habib Rizieq, Bachtiar Nasir, Aa Gym, Didin Hafidhuddin, dan berbagai ulama lainnya yang sering terlihat di televisi menjadi daya tarik tersendiri sebagai magnet gerakan 212. Pada akhirnya, gerakan tersebut bisa disebut sukses menjaring solidaritas sekian banyak umat Islam, akan tetapi tuntutan agar Ahok dipenjara tetap membutuhkan pengawalan di pengadilan.
Bagaimana menyikapi hiruk-pikuk ini?
Sebagai anak bangsa kita bisa melakukan beberapa hal. Pertama, jangan menyebarkan berita hoax atau berita-berita yang tidak dipastikan kebenarannya. Berita-berita hoax hanya akan membuat kita tidak cerdas dan memancing kekeruhan satu sama lain. Konflik dan saling curiga pun mudah sekali tersulut gara-gara berita yang tidak jelas tersebut. Kedua, jangan menghasut satu sama lain untuk bertindak yang melampaui batas seperti cinta yang berlebihan atau benci yang berlebihan. Agama mengajarkan kita untuk berlaku adil, karena adil itu dekat kepada takwa. Ketiga, kita berharap pemerintah kita benar-benar bekerja serius untuk berbuat untuk rakyat dan untuk para pejabat agar tidak asal ngomong seperti kasus Ahok di Kepulauan Seribu. ***
Leave a Reply