Oleh Dr Ismail Suardi Wekke
Dengan datangnya bulan Rabiul Awal, maka kesempatan bagi kita untuk merayakan maulid. Hanya saja, perdebatan demi perdebatan tetap saja mengemuka. Bahkan ada yang memandang bahwa perayaan maulid merupakan bid’ah (penyimpangan). Ini tak lain dengan alasan bahwa Rosul sendiri tidak pernah merayakan maulid. Demikian pula para sahabat yang bahkan dijamin masuk syurga. Jikalau itu adalah kebaikan, maka para sahabatlah yang paling awal yang akan merayakan maulid. Beberapa pendapat yang lain mengemuka bahwa peringatan maulid merupaka kecintaan kepada Rosul. Menelusuri jejak perjuangan dan sejarahnya untuk dijadikan sebagai pelajaran kehidupan.
Terlepas dari itu perdebatan itu, merayakan maulid menjadi tradisi tersendiri dalam pelbagai budaya. Dalam masyarakat Makassar digelar maudu lompoa (maulid akbar). Dalam skala terbatas digelar maudu caddi’ (maulid kecil). Ini karena pelaksanaan maulid tidak lagi hanya sebatas di lingkungan satu rumah saja, tetapi dilaksanakan bersama-sama. Masyarakat Makassar di Cikoang, Takalar (Sulawesi Selatan) bahkan merayakan dengan sangat meriah dan ramai. Ada tahapan-tahapan tertentu yang sudah dilaksanakan secara turun temurun. Sekaligus menjadi kesempatan pulang kampung yang tidak hanya datang pada saat mudik lebaran. Maudu lompoa bagi masyarakat Makassar di perantauan menjadi peluang untuk mudik dan merayakan maulid bersama dengan keluarga besar.
Masyarakat Bugis dan Makassar merayakan maulid dengan nasi ketan dan telur warna warni. Ditempatkan dalam wadah ember. Sajian ini dibawa ke masjid untuk diumpul bersama-sama. Bagi setiap orang yang datang ke perayaan maulid akan mendapatkan “ember”. Sementara paniti maulid menyiapkan satu batang pohon pisang yang ditancapi dengan ratusan telur. Dulu, saat bacaan barzanji sampai pada kalimat “yatala’lau sana”, maka anak-anak akan berebutan telur. Hanya saja, sekarang ini anak-anak akan mengikut antrian untuk mendapatkan bagian telur masing-masing.
Setiap wilayah memiliki “ritual” tersendiri. Kesamaan diantaranya adalah adanya bacaan yang menjadi bagian dari perayaan maulid. Kalau di beberapa sudut tanah air dibaca barzanji, maka di Brunai Darussalam, sebelum jalan bersama ke alun-alun, dilantunkan syaraful anam di istana Nurul Iman. berjalan bersama-sama yang jaraknya kiloan juga diikuti oleh Sultan Brunai Darussalam bersama keluarga. Sata berjalan bersama dilantunkan salawat.
Bagi masyarakat Surakarta dinamai dengan kata gerebeg mulud. Adapun di Aceh dengan nama Kenduri Maulod. Sementara di Cirebon dikenal dengan nama panjang jimat. Beberapa nama lain lagi yaitu ngalungsur (Garut), muludhen (Madura). Perayaan maulid dilaksanakan dengan tipikal masing-masing daerah. Bahkan dalam masyarakat yang pelbagai seperti Kota Sorong, Papua Barat, perayaan maulid mengalami perjumpaan etnis. Dalam beberapa kesempatan maulid justru diisi dengan seminar. Tahun lalu, di sebuah komunitas, maulid dirayakan dengan lomba busana muslimah. Semuanya tentu mengarah kepada keinginan untuk mengikuti perilaku Sang Suri Teladan, Muhammad SAW.
Maulid merupakan ekpresi mengingat keteladan. Untuk itu, dengan membaca barzanji, maka sejarah perjuangan Rosul kembali disegarkan. Sila (2015) memaknai bahwa maulid bagi masyarakat Cikoang adalah jalan penyatuan dengan Allah. Sehingga ketika seseorang melaksanakan maudu, maka itu akan menjadi jalan mewujudkan kedekatan dengan Allah. Sebuah catatan penting, maulid merupakan sebuah festival. Sehingga menghakimi berlebihan dengan menyatakan bid’ah bukan sebuah hal yang tepat. Merayakan maulid bisa saja menjadi sebuah ikhtiar untuk menjadi muslim yang lebih baik. Keteladan dan perilaku mulia Rosul yang senantiasa menjadi inspirasi untuk kehidupan merupakan bagian hikmah yang hendak dipetik dalam rangkaian maulid. ***
Ismail Suardi Wekke (STAIN Sorong dan Divisi Riset ISMES)
Leave a Reply