KTT OKI DAN POROS AS-ISRAEL-SAUDI

Smith Alhadar
Penasihat ISMES

Pada 13 Desember 2017, 57 negara berpenduduk mayoritas Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) luar biasa di Istanbul, Turki, guna menyikapi manuver Presiden AS Donald Trump yang pada 6 Desember lalu mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memulai persiapan pemindahan keduataan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Memang langkah kontroversial dan provokatif Trump ini berpotensi besar menghilangkan peluang Palestina mendapatkan Yerusalem Timur yang ingin dijadikan ibu kota Palestina merdeka kelak. Maka, KTT OKI bertujuan mendesak Trump membatalkan deklarasinya itu dan mencegah negara lain mengikuti jejak AS.

Dalam komunikenya, OKI menyerukan kepada dunia agar mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina yang diduduki dan menolak serta mengecam keras deklarasi Trump. Komunike juga menyatakan, keputusan Trump merupakan pengumuman pemerintah AS untuk mundur dari perannya sebagai sponsor perdamaian di Timur Tengah. Dalam konferensi pers menyampaikan hasil sidang, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, tidak ada lagi pertanyaan soal posisi AS sebagai mediator perundingan Palestina-Israel. Dalam pernyataan akhir, OKI mengajak negara lain menolak deklarasi Trump. Apakah hasil KTT OKI ini dapat berdampak pada pembatalan deklarasi Trump? Nampaknya tidak. Sebelum ini, pemerintahan Trump telah menarik diri dari sejumlah perjanjian internasional, seperti Perjanjian Perubahan Iklim, Kemitraan Trans-Pasifik, dan Kesepakatan Nuklir Iran meskipun ditentang banyak negara, termasuk oleh sekutu AS di Eropa. Apalagi manuver Trump itu mendapat dukungan internal dan sekutu AS di Timur Tengah.

Dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump berharap popularitasnya di dalam negeri terdongkrak kembali setelah merosot hingga tinggal 36 persen. Memang pendukung Trump dari kelompok sayap kanan dan jemaat Gereja Evangelis menginginkan Yerusalem menjadi ibu kota Israel. Di lain pihak, beberapa negara Arab sekutu AS mendukung kebijakan Trump soal Yerusalem. Mereka adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir. Mereka melihat isu Palestina telah menjadi beban yang menghambat agenda politik-keamanan mereka. Karena itu, mereka tidak lagi memandang Palestina sebagai isu prioritas. Yang prioritas adalah kebijakan membendung Iran yang menjalankan politik sektarian, agresif, dan ekspansif di Timur Tengah. Pada titik ini, Kwartet menemukan kesamaan pandangan dengan Israel menyangkut ancaman Iran.

Naiknya Trump yang sangat anti-Iran ke tampuk kekuasaan membuat Israel dan Kwartet menemukan momentum. Maka terbentuklah poros AS-Israel-Kwartet. Tetapi kerja sama militer, keamanan, dan politik antara Saudi, UEA, dan Bahrain dengan Israel tidak dapat berjalan maksimal disebabkan negara-negara Arab Teluk itu belum berdamai dengan Israel. Di lain pihak, kendati sangat ingin memiliki hubungan resmi dengan Israel, negara-negara Arab Teluk itu tidak dapat bekerja sama secara terbuka dengan Israel sebelum isu Palestina diselesaikan terlebih dahulu. Kalau tidak, penguasa negara-negara Arab Teluk itu akan kehilangan legitimasi. Toh, Palestina masih menjadi isu yang sensitif di kalangan masyarakat Arab. Mesir, yang repot mengatasi terorisme dalam negeri dan terpuruknya ekonomi, tak lagi ingin memainkan peran utama terkait isu Palestina dan cenderung berkonsentrasi pada masalah-masalah dalam negeri yang kompleks.

Menghadapi ancaman Iran dan situasi keamanan kawasan yang gampang berubah, Saudi di bawah Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) mengambil jalan radikal terkait Palestina. Didukung UEA, Bahrain, dan Mesir, MBS menggodok konsep perdamaian Palestina-Israel dengan Jared Kushner, penasihat politik senior Trump. Dalam konsep ini, Palestina diberikan kemerdekaan dengan wilayah Jalur Gaza serta empat kantong Palestina di Tepi Barat tanpa Yerusalem Timur. Sebagai pengganti Yerusalem, Palestina diberikan wilayah Abu Dis di Tepi Barat, berbatasan dengan Yerusalem Timur. Hak kembali 4 juta pengungsi Palestina yang berserakan di Lebanon, Yordania, Suriah, Tepi Barat dan Gaza ke kampung halaman mereka di Israel hilang. Dukungan Kwartet atas skema perdamaian inilah yang membuat Trump punya keberanian mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Apakah setelah KTT OKI, Kwartet akan menarik kembali skema perdamaian Israel-Palestina itu? Rencananya Trump akan membeberkan skema perdamaian di atas pada awal atau Juni tahun depan. Tapi melihat reaksi keras Arab, dunia Islam, dan komunitas internasional, terkait pengakuan sepihak AS atas Yerusalem, bisa jadi Trump akan membatalkan atau melakukan revisi atas skema perdamaian itu, terutama menyangkut kepemilikan Yerusalem. Apalagi skema perdamaian itu ditentang otoritas Palestina. Tapi bila Trump kokoh pada pendiriannya, maka stabilitas Timur Tengah tak dapat dijamin. Lebih jauh kepentingan AS di dunia Arab dan dunia Islam akan terancam. Di pihak lain, musuh-musuh AS dan Israel di Timur Tengah, seperti Iran, mendapat amunisi untuk menyerang AS dan Israel, serta meluaskan pengaruhnya di dunia Islam. Pengaruh Rusia di Timur Tengah pun akan semakin luas dan mendalam setelah Moskow mengecam manuver Trump. AS sendiri, kecuali dukungan komunitas tertentu dalam negeri, tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan, dengan ditolaknya AS sebagai mediator perdamaian oleh Palestina membuat skema perdamaian yang disusun MBS dan Kushner menjadi sia-sia. Namun, muncul pertanyaan, siapakah yang dapat menggantikan posisi AS sebagai mediator perdamaian? Apakah otoritas Palestina dapat bertahan tanpa dukungan ekonomi dan politik dari AS, Israel, dan Kwartet? Sekiranya AS mau berlaku adil atas Palestina dengan memaksakan Israel menerima prinsip solusi dua negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, persoalan Palestina tidak akan sesulit ini.***

Editor: Fahmi S

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*