TRIPOLI- Mantan Presiden Libya, Moammar Khadafy tewas dalam penyerbuan tentara Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) yang didukung NATO, Kamis (20/10). Peluru bersarang di kepala dan kakinya. Tubuhnya bersimbah darah. Kontras dengan kejayaannya saat berkuasa, jasadnya diperlakukan dengan hina, berada di antara kaki-kaki tentara revolusioner, beberapa di antaranya bahkan menginjak kepala Khadafy.
Pasar pun langsung merespon, harga minyak mulai ‘menyengat’, Jumat (21/10). Berbagai spekulasi muncul, tewasnya Khadafy dapat mendorong pemulihan penuh ekspor minyak Libya lebih awal dari diperkirakan. Tapi ada juga yang memperkirakan, Libya akan menjadi medan perang minyak oleh dunia barat. Apa pun, jangan sampai Libya jadi Irak kedua setelah tewasnya Khadafy.
“Ini juga merupakan keinginan negara-negara yang ingin menguasai minyak. Tentu kita harapkan Libya tidak dijadikan Irak kedua. Setelah Saddam Husein tewas digantung, Barat bisa lebih masuk ke Irak karena kepentingan emas hitam. Ini sama-sama jadi incaran Barat,” kata Sekjen The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Fahmi Salsabila, Jumat (21/10).
Melihat Irak, keberadaan Barat yang semula mengusung panji-panji demokrasi dan HAM, namun ternyata hal itu hanya fatamorgana. Tentu masyarakat Libya tak ingin demokrasi di negara tersebut hanya fatamorgana. Rakyat Libya ingin mengatur negaranya sendiri.
“Di belakang tewasnya Khadafy itu ada NATO, ada negara Barat, yang punya kepentingan minyak. Rakyatnya sendiri ingin lepas dari Khadafy. Secara sembunyi atau terang-terangan, Barat juga masih tetap ingin tampil. Jadi bisa jadi tampilnya dengan boneka di Dewan Transisi Nasional,” tutur Fahmi.
Pelaku ekonomi juga langsung merepon tewasnya Khadafy, meski diprediksi belum akan membuat pasar kocar-kacir. “Ada juga spekulasi, bahwa kematian Khadafy bisa mempercepat kembalinya produksi Libya Kematian Khadafy sebenarnya berarti kecil untuk harga minyak saat ini, tetapi tidak menghapus salah satu dari serangkaian faktor risiko untuk kenaikan produksi berkelanjutan di Libya,” kata analis JPMorgan, Lawrence Eagles dikutip dari AFP pagi tadi.
Harga kontrak minyak dunia ditransaksikan naik di New York. Pagi tadi, harga kontrak minyak untuk pengantaran Desember naik menjadi 86,50 dollar/barrel (Rp 769.800) di New York Mercantile Exchange. Pada pukul 09.41 waktu Sydney, kontrak yang sama berada di posisi 86,36 dollar/barrel (Rp 768.600).
Sementara itu, harga kontrak minyak jenis Brent untuk pengantaran Desember naik 1,3% menjadi 109,76 dollar/barrel (Rp 976.800) di ICE Futures Europe Exchange, London. Kenaikan harga minyak terjadi setelah data manufaktur AS secara tidak terduga naik. Selain itu, pemerintah Eropa juga tengah mendiskusikan untuk menggelontorkan dana senilai 1,3 triliun dollar (Rp 11.570 triliun) yang ditujukan untuk mengatasi krisis utang Eropa.
Libya memproduksi sekitar 1,4 juta barel per hari sebagian besar minyak mentah light sweet bernilai tinggi sebelum pemberontakan melawan Khadafy pecah awal 2011 lalu. Sekitar 85 persen dari produksi Libya diekspor ke Eropa, dan itu kehilangan kontribusi terhadap lonjakan minyak mentah Brent North Sea dibandingkan dengan WTI yang diperdagangkan di New York.
Libya tercatat sebagai salah satu pemasok minyak penting bagi Eropa. Gangguan keamanan akibat munculnya pemberontak Libya sebelum meninggalnya pemimpin Libya, membuat sejumlah fasilitas minyak terhenti dan berdampak pada melonjaknya harga minyak mentah dunia beberapa waktu lalu.
Kini, meninggalnya Khadafy diharapkan bisa mengakhiri semua ketidakpastian di negeri yang sarat minyak tersebut. Para ahli menilai, tewasnya Khadafy akan memiliki dampak langsung yang sedikit terhadap harga minyak, namun bisa menghapuskan ancaman harga minyak kedepan yang sudah lama menggantung.
Belajar dari kasus di Irak yang kisruh setelah perang, pasar justru khawatir tewasnya Khadafy akan membuat konflik berkepanjangan yang bisa membekukan produksi minyak di Libya.”Kerusakan ekonomi dari isu keamanan kronis yang sangat beragam di beberapa produsen telah mengganggu pasar minyak dalam beberapa waktu terakhir,” jelas Eagles.
“Produksi di Irak setelah perang kedua, di Nigeria dan Kolombia, diantara mereka, semuanya telah diganggu oleh aktivitas pemberontak, sehingga pemusnahan kaum protagonis itu telah memberikan kenaikan keamanan yang tinggi,” imbuhnya.
Sebelum revolusi yang dimulai pada Februari tahun ini, produksi minyak mentah di Libya tercatat sebesar 1,4-1,6 juta barel per hari untuk jenis light sweet. Namun jenis minyak di Libya kualitasnya cukup bagus dan jarang ditemui. Sekitar 85% produksi minyak Libya diekspor ke Eropa, dan berkurangnya ekspor akibat gangguan pemberontakan tersebut telah membuat harga minyak Brent melonjak tajam dibandingkan jenis WTI.
Sementara fasilitas di hulu sudah berada di tangan National Transitional Council dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah ladang minyak yang tersebar di seluruh gurun sangat banyak dan tidak terkontrol. “Dengan kepergian Khadafy, kaum loyalis kemungkinan menjadi tidak bermoral dan mengabaikan akibatnya. Hal ini sebaliknya, bisa membuat perusahaan minyak internasional lebih mudah untuk kembali ke area yang sudah dipandang secara khusus bergejolak karena kehadiran pasukan pro-Khadafy,”ujar analis dari Barclays.
Namun ada peringatan dari bank yang berbasis di London tersebut. “Kami percaya bahwa tantangan keamanan yang serius hadir di Libya yang dapat mengganggu upaya memulihkan produksi minyak di Libya secara penuh,” tegas mereka.
Pejabat Perdana Menteri Libya Mahmud Jibril sebelumnya meyakini produksi