Smith Alhadar
Penasihat ISMES; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Setelah berperang sengit lebih dari delapan bulan, pada 9 Juli pasukan Irak – dibantu serangan udara pasukan koalisi pimpinan AS – berhasil menaklukkan Islamic State (IS) di kota Mosul. Dengan demikian, berakhir sudah eksistensi IS di Irak. Mosul adalah ibu kota de facto IS di Irak. Di kota ini, pada 29 Juni 2014, pemimpin IS Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan berdirinya IS, yang wilayahnya mencakup sebagian Irak dan Suriah. Entah di mana al-Baghdadi sekarang. Sumber Rusia dan Iran menyatakan ia telah tewas pada Mei silam dalam suatu serangan udara Rusia.
Di Suriah, IS pun terpukul di beragai kota. Pada Mei 2016, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) menghalau IS dari Manbij (Suriah timur laut), dan, empat bulan kemudian, tentara Turki yang bekerja sama dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA) berhasil mengusir IS di kota Jarablous dan Al-Bab (Suriah utara). Pada Mei 2017, kembali SDF menaklukkan IS di Tabqa (Suriah timur laut) dan sejak November 2017 mengepung Raqqa, ibu kota de facto IS di Suriah. Diprediksi Raqqa akan jatuh paling lama akhir tahun ini.
Sementara itu, sepanjang tahun ini, terorisme marak di Indonesia. Pelakunya adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah yang telah menyatakan sumpah setia kepada IS. Dalam serangan terhadap kota Marawi, Mindanao, Filipina Selatan, diketahui 40 jihadis Indonesia bergabung dengan para penyerang, yakni kelompok Maute, yang berafiliasi dengan IS. Otoritas Filipina menyatakan tujuh jihadis Indonesia yang tewas di Marawi memasuki Mindanao mulai bulan November 2016-April 2017. Ini berarti mereka bergabung dengan kelompok Maute sebulan setelah Mosul diserang pasukan Irak dan bertepatan dengan bulan dimulainya serangan SDF terhadap IS di Raqqa.
Maka bisa dikata insiden Marawi dan terorisme di Indonesia terkait dengan kemerosotan IS di Irak dan Suriah. Tidak jelas apakah 40 teroris Indonesia itu merupakan bagian dari 200 dari 500 teroris Indonesia yang pulang dari Irak dan Suriah. Yang jelas, terorisme di Indonesia belakangan ini dan membanjirnya teroris Indonesia ke Filipina Selatan menggambarkan korelasi dinamika IS di Irak dan Suriah serta teroris di Indonesia dan Filipina. Sejak beberapa waktu lalu, seiring makin terdesaknya IS, Al-Baghdadi menyerukan agar IS di seluruh dunia membentuk organisasi independen untuk melakukan serangan teror di negara masing-masing sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Karena itu, merosotnya IS di Irak dan Suriah tidak akan menyurutkan terorisme di dunia, khususnya di Indonesia. Apalagi, IS masih bercokol di kota-kota kecil di perbatasan Irak-Suriah seperti Tal Afar dan Hawija. Di Suriah, IS masih menguasai kota minyak Deir Az-Zour dan kantong di dekat Aleppo. Memang akses mereka ke Turki telah tertutup oleh pasukan Turki dan SDF. Namun, Propinsi Anbar, Irak, yang luas dan jarang penduduk serta berbatasan dengan Yordania dapat menjadi rute pelarian orang-orang IS dari Irak. Asal mampu bayar, para bandit Irak dan Yordania dapat menyelundupkan orang-orang IS dari Irak ke Yordania. Selanjutnya, dengan menyaru sebagai peziarah Masjidil Aqsa, mereka dapat masuk kembali ke tanah air.
Terkait ini, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan pengawasan di bandara-bandara dan pelabuhan-pelabuhan laut untuk mengantisipasi kepulangan jihadis Indonesia dari mancanegara dan keberangkatan mereka ke Filipina. Patroli maritim bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina adalah tindakan tepat. Tetapi nampaknya patroli itu lebih ditekankan pada upaya mencegah rembesan perang Marawi ke Indonesia dan Malaysia. Padahal, tak kurang penting adalah mengawasi penyeberangan jihadis Indonesia ke Filipina. Agus Wiguna, pelaku perakitan bom panci yang meledak di kamar kontrakannya di Buah Batu, Bandung, pada 8 Juli lalu menyatakan memiliki rencana bergabung dengan IS di Filipina. Orang-orang Indonesia yang punya obsesi seperti Agus Wiguna yang telah terpapar terorisme melalui internet tentu banyak.
Untuk sementara ini, para teroris lebih terpanggil untuk berjihad ke Filipina demi menegakkan khilafat di sana, mendapat pelatihan militer, dan pengetahuan membuat bom. Kemampuan IS bertahan di Marawi selama berbulan-bulan dari serangan tentara Filipina telah mengangkat moril para teroris. Kemampuan bertahan itu, apalagi berhasil menewaskan sejumlah besar tentara Filipina, sudah merupakan kemenangan psikologis bagi mereka. Maka motivasi para teroris Asia Tenggara untuk membantu teroris Filipina semakin tinggi. Kalaupun Marawi nanti ditaklukkan, serangan serupa kelompok Maute dan aliansinya ke kota lain di Filipina Selatan akan dilakukan lagi pada kesempatan lain.
Kendati terorisme masih terjadi di tanah air, Indonesia dianggap relatif berhasil menangani terorisme. Terkait ini, pada KTT G-20 di Hamburg, Jerman, pada 7 Juli silam, dalam sesi retret Presiden Joko Widodo diminta menjadi pembicara utama. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi, di antaranya, menyatakan perlunya keseimbangan antara hard power dan soft power dalam menangani terorisme. Beberapa cara yang diperlukan adalah mengatasi ketimpangan ekonomi, kerja sama pertukaran informasi intelijen, penanganan petempur asing, dan peningkatan kapasitas. Pengawasan ketat dan penghentian arus pendanaan untuk tujuan teror juga harus diwujudkan. Yang tak kalah penting adalah dorongan penyebaran kontra-naratif dengan penekanan pada pada gerakan moderasi dan penyebaran nilai damai dan toleran.
Memang yang dikatakan presiden itu penting. Namun, semua itu belum cukup sampai Densus 88 Ant-Teror lebih diberdayakan. Karena itu, DPR perlu segera merampungkan UU Anti-Terorisme yang lebih memberi payung hukum pada Densus 88 untuk bertindak sejak orang atau kelompok masih dalam awal persiapan aksi teror. Kalau tidak, terorisme di Indonesia tak dapat diatasi secara maksimal. Padahal, kejatuhan IS di Irak dan Suriah akan meningkatkan tekanan terorisme di Indonesia.
Editor: Fahmi
Leave a Reply