
Inggar Saputra
(Dosen Universitas Mercubuana, Peminat Kajian Timur Tengah)
Kemenangan Donald Trump atas kompetitornya Hillary Clinton dalam Pemilu AS adalah sebuah realitas baru dalam perpolitikan global. Trump, seorang pengusaha media tak disangka mampu meyakinkan publik AS melalui gaya kampanye yang mengusung radikal. Dengan mengusung semangat nasionalisme yang fundamental, Trump misalnya berjanji akan memproteksi muslim yang tinggal dan masuk ke negeri super power tersebut. Tak hanya itu, Trump nekat menjanjikan siap melakukan proteksi terhadap eksistensi muslim, yang disebutnya imigran illegal.
Perhatian kepada Islam menjadi salah satu fokus Trump untuk memikat hati publik agar memilihnya sebagai pemimpin AS berikutnya. Pengganti Obama ini sadar betul, Islam sebagai sebuah agama menyisakan teror berkepanjangan dan ketakutan dalam pikiran masyarakat AS usai tragedi pengeboman menara kembar. Dengan menjual isu anti Islam, Trump berusaha meyakinkan diri dan pendukungnya dengan janji melindungi kepentingan nasional negaranya. Ini meski dipahami sebuah kewajaran, justru menyisakan aroma perang baru dan tak berkesudahan terhadap komunikasi Islam-Barat di era kekinian.
Mengapa disebut kebijakan anti Islam sangat wajar? Sebab gerakan dan wacana anti Islam sudah lama dikembangkan AS sejak pemerintahan sebelumnya. George Bush, pernah memutuskan menyerang Irak dan Afghanistan, demi memuaskan syahwat politiknya merebut sumber daya alam negara tersebut. Melalui kebijakan yang menyisakan duka mendalam, Bush ingin menegaskan hegemoni negaranya sekaligus terus menjaga konflik dengan negara Islam yang kaya sumber daya alam. Ketakutan dan teror juga dijual, agar bisnis senjata yang selama ini dikuasai negara maju tetap berjalan lancar.
Serupa, Presiden Obama meski memainkan politik halus, jelas mengembangkan gerakan anti Islam. Obama sama sekali tak mampu melepaskan komunikasi politik dengan Israel dengan menegaskan tetap berdiri di belakang negara tersebut, dalam konfliknya dengan Palestina. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Obama, juga sama sekali tak mengendurkan sikap membela Islam setelah badai Arab Spring menggulung dunia Arab. Sikap ini membuat negara Islam mencurigai, betapa besar keterlibatan pemerintahan Obama dalam peristiwa yang mengakhiri kekuasaan beberapa rezim di negara Arab tersebut.
Wacana anti Islam pemerintahan sebelumnya ini yang terus dijaga Trump, yang tentu saja menyisakan kekhawatiran mendalam bagi negara muslim di seluruh dunia. Timur Tengah yang masih terus bergejolak, layak khawatir terhadap kebijakan ekstrem Trump. Ini mengingat, warga mereka banyak terlibat dalam putaran bisnis di Amerika Serikat. Sehingga pelarangan Trump membawa konsekuensi, terganggunya hubungan ekonomi negara tersebut dengan pelaku usaha dari Timur Tengah. Kecurigaan terhadap Islam yang berlebihan, berpotensi merusak perekonomian AS di masa mendatang.
Dalam pandangan politik, kebijakan proteksi muslim juga menyisakan pertanyaan besar sejauhmana pemaknaan demokrasi serius dijalankan AS. Sebab demokrasi memberikan kesempatan dan kebebasan setiap manusia memeluk agama, serta menjalankan keyakinan keberagamaannya itu. Dengan mencurigai orang Islam di negaranya, menyisakan ketersinggungan negara Islam terhadap kepemimpinan baru Trump yang baru seumur jagung. Kondisi ini sama dengan membuka front pertempuran baru dan menutup rapat dialog harmonis yang terjalin antara dunia Barat dan Islam.
Bagi negara Timur Tengah dan negara Islam lainnya, kebijakan Trump menjadi teror politik menakutkan yang merusak harmonisasi Barat-Islam. Untuk itu, ke depan tentu menarik ditunggu bagaimana sikap negara Timur Tengah terhadap kebijakan “kepentingan nasional” terbaru AS, apakah tetap diteruskan atau menyisakan perubahan yang lebih membawa angin segar untuk berdialog lebih jernih.
Bagaimanapun Trump harus memikirkan kembali dampak kebijakan ini terhadap kondisi dunia Islam global. Perbedaan pandangan dalam persoalan keberagamaan, harus terus didialogkan secara intensif, sehingga proses demokrasi dapat terus terkonsolidasi. Jangan sampai terus dikembangkan pandangan atas masa lalu di era kekinian yang banyak berubah. Muslim di AS, juga seluruh dunia tentu berharap, ketakutan masa lalu harus dihilangkan dan dialog harmonis dalam kaitannya dengan agama harus terus dikembangkan. ***
Leave a Reply