Islam Indonesia dan Indonesia Islam

Oleh Dr Ismail Suardi Wekke *)

Dengan tidak mengunggulkan dengan wilayah lain yang juga bagian pemeluk Islam, Islam Indonesia atau Indonesia Islam, keduanya saling melengkapi. Bentangan garis khatulistiwa menjadi keberagamaan masyarakat yang menikmati wilayah tropis dengan matahari sepanjang tahun.

Pesantren menjadi bagian keberagamaan muslim Indonesia yang sangat khas. Ketika pondok di Malaysia sebagai bagian pendidikan Islam, justru satu persatu mulai roboh. Akhirnya harus bergabung dengan lembaga pendidikan negeri. Pondok tidak lagi menjadi bagian arus utama pendidikan nasional mereka. Sebaliknya, pesantren Indonesia justru menjadi pilar pendidikan nasional. Bahkan lembaga pendidikan seperti Tremas di Pacitan, lebih awal berbanding kata Indonesia sendiri.

Begitu pula dengan sarung dan peci. Dua benda yang kerap diasosiasikan dengan entitas keislaman masyarakat Indonesia. Adaptasi dari lingkungan dengan cuaca yang hangat memungkinkan sarung menjadi pilihan busana untuk ke masjid. Berbeda dengan Jepang yang menikmati empat musim, agak susah di musim dingin untuk ke masjid dengan hanya memakai sarung. Maka, panorama yang berbeda jikalau shalat jumat di Turki, jamaah lebih jamak menggunakan jas. Dimana di wilayah Bugis atau Makassar, digunakan untuk acara pernikahan yang tetap dipadu dengan sarung sabbe (sutra).

Demikian juga maulid. Dirayakan dengan penuh suka cita. Kemeriahan dilengkapi dengan telur warna-warni. Bahkan dalam kesempatan tertentu, beberapa masjid di Kota Sorong menunda perayaan maulid karena tidak ada persediaan telur. Saat itu ombak besar menghalau kapal yang memuat telur dari wilayah lain. Tanpa telur, maulid dirasakan sepi dan sunyi. Karenanya, pengurus masjid menjadwalkan ulang pelaksanaan maulid sampai tersedianya telur.

Islam menyebar dengan sangat ramah dan diwarnai dengan keselerasan dan harmoni. Ketika Sunan Kudus memahami pantangan bagi masyarakat Hindu untuk memotong sapi, maka beliau memilih untuk menyantap daging kerbau. Perjumpaan itu tersisa hingga kini, untuk soto kerbau justru tersedia di seentaro warung Kota Kudus.

Walaupun serumpun dalam hal kebudayaan Melayu, masyarakat Sumatera tetap saja berbeda dengan Semenjung Malaysia. Ini tentu diantaranya karena faktor keindonesiaan itu. Termasuk pula Palembang. Tidaklah padu-padan dengan Malaysia. Kondisi ini karena perjumpaan etnik yang pelbagai. Di Sumatera dikenal Puja Kesuma, Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Sementara daerah Tembilan di Riau, justru didiami etnik Bugis dan Banjar. Hampir sama dengan Aceh, mereka berbaur dengan bangsa Turki, Arab, hingga India.

Warna-warni kehidupan inilah yang memicu gambaran Indonesia yang Islam. Tidak pula menunjukkan keseragaman. Justru adopsi Islam dalam warna yang diinspirasi dari kondisi masing-masing wilayah. Jika di ranah Minang, lembaga nagari diisi oleh tokoh adat,  cerdik pandai, dan ulama; maka, di Bugis dengan terminologi berbeda tetapi hampir sama. Pangaderreng (sistem sosial) ditopang oleh adat dan Islam. Sebuah kampung tidak saja berisi pampawa ade (petugas adat) tetapi juga dibentuk pegawai sara’ (petugas syariah).

Akhirnya, memahami Indonesia Islam atau Islam Indonesia, tidak lagi hanya pada wilayah tertentu tetapi menyebar dari Merauke ke Sabang. Semuanya dengan dinamisasi antara pesan keagamaan yang kuat di satu sisi. Pada bagian yang lain menunjukkan keteguhan lokal. ***

*) Ismail Suardi Wekke (Dosen STAIN Sorong & Divisi Riset ISMES)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*