INDONESIA DALAM PUSARAN KONFLIK SURIAH

Smith Alhadar
Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Eskalasi ketegangan poros Rusia (Rusia, Suriah, dan Iran) dan Sekutu (AS, Inggris, dan Perancis) masih tinggi. Rusia tak dapat menerima serangan Sekutu di Suriah terkait penggunaan senjata kimia pada 14 April lalu. Memang serangan itu tidak bersandar pada resolusi Dewan Keamanan PBB di mana Rusia merupakan anggota tetap yang perlu mendapat persetujuannya. Moskow berpendapat tidak ada serangan senjata kimia di kota Douma pada 7 April dan bahwa alasan itu dicari-cari Sekutu dengan tujuan menjatuhkan rezim Presiden Bashar al-Assad. Situasi sempat memburuk karena Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) yang bertugas mencari fakta di lapangan terhalang untuk masuk Douma. Sekutu curiga poros Rusia sengaja menciptakan hambatan bagi OPCW untuk memberi kesempatan mereka melenyapkan bukti. Krisis ini tentu berdampak pada situasi keamanan global dan penyelesaian isu Suriah.

Dalam konteks inilah pada 19 April lalu duta besar AS, Inggris, dan Perancis untuk Indonesia “menekan” Jakarta agar menekan Suriah. Ketiga duta besar, yakni Joseph Donovan (AS), Moazzam Malik (Inggris), dan Jean-Charles Berthonnet (Perancis), menemui Menter Luar Negeri Retno LP Marsudi di kantor kementerian Luar Negeri, Jakarta. Dalam konperensi pers seusai pertemuan tertutup, mereka mengatakan, Indonesia diajak mendesak semua pihak menjalankan konvensi pelarangan senjata kimia. Ini relevan terkait Indonesia akan menjadi anggota Dewan Eksekutif OPCW. Mereka juga menyebutkan, ada bukti penggunaan senjata kimia di Douma berupa rekaman video, foto, dan rekaman medis. Tak dijelaskan apakah bukti-bukti itu sudah diverfikasi atau belum. Ketiga duta besar itu ingin Indonesia menekan Rusia, rezim Assad, dan Iran memberi akses pada penyelidikan di Douma.

Desakan tiga negara ini tak lepas dari sikap dan pandangan Indonesia setelah AS, Inggris, dan Perancis meluncurkan 105 rudal ke pusat riset dan gudang senjata kimia, serta pusat komando di Damaskus dan Homs. Dalam pernyataan sikap, pemerintah Indonesia menyatakan sangat prihatin dengan perkembangan yang terjadi di Suriah dan mengimbau semua pihak menahan diri serta mencegah memburuknya situasi di Suriah. Indonesia menekankan pentingnya penyelesaian konflik komprehensif melalui negosiasi dan cara damai. Sikap ini sejalan dengan konstitusi kita yang mengamanatkan negara ikut serta menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Apalagi pihak bertikai adalah kekuatan-kekuatan global yang telah mengambil posisi permusuhan satu sama lain. Ini rawan bagi kemungkinan terjadinya konflik militer terbuka di antara mereka.

Sikap ini konsisten dengan prinsip Gerakan Non-Blok yang ikut didirikan Indonesia. Apalagi pelaku penyerangan senjata kimia belum jelas. Memang rezim Assad pada waktu-waktu lalu telah terbukti menggunakan senjata kimia untuk menaklukkan lawannya. Namun, tetap saja serangan di Douma menimbulkan tanda tanya. Sebagaimana diketahui, serangan pasukan pemerintaha ke Ghouta Timur, tempat bercokolnya kota Douma, telah dimulai sejak 19 Februari. Saat itu pemerintah menghadapi empat kelompok pemberontak sekaligus: Ahrar al-Syam, Hay’at Tahrir al-Syam, Faylaq al-Rahman, dan Jaish al-Islam. Tiga kelompok yang disebut pertama telah menyerah pada Maret. Jaish al-Islam pun sedang bernegosiasi dengan Rusia mengenai cara evakuasi mereka. Lalu, mengapa rezim Assad menyerang menggunakan senjata kimia — yang beresiko menghadapi serangan Barat — terhadap kelompok yang sudah akan segera menyerah? Pertanyaan lain, mengapa AS dan sekutunya tak mau menunggu hasil kerja OPCW yang punya misi mencari fakta di lapangan? Ada preseden buruk AS dalam soal tuduhan penggunaan senjata kimia ini. Pada 2003, AS menginvasi Irak dengan tuduhan rezim Presiden Saddam Hussein menyembunyikan senjata kimia. Tuduhan ini terbukti bohong.

Lepas dari hal-hal di atas, sebenarnya AS khususnya tidak memiliki otoritas moral terkait senjata kimia. Pertama, Konvensi Genewa 1925 melarang penggunaan senjata kimia. Namun, dalam Perang Vietnam (1957-1975) AS menggunakan senjata pembunuh massal berupa agen oranye dan yellow cake yang membunuh ribuan tentara maupun warga sipil Vietnam. Kedua, selama perang Iran-Irak (1980-1988), tentara Irak menggunakan senjata kimia terhadap tentara Iran, namun AS (juga Inggris dan Perancis) menutup mata. Bahkan, mereka terus mendukung rezim Saddam. Ketiga, kendati Konvensi Pelarangan Senjata Kimia tahun 1997 melarang membuat, menggunakan, dan menyimpan senjata kimia, faktanya AS adalah pemilik senjata kimia terbesar di dunia.

Bagaimanapun, sikap netral Indonesia dalam konflik Suriah ini diinterpretasikan Sekutu sebagai sikap memihak poros Rusia. Ketika itu sikap Jakarta ini dipandang akan melemahkan tekanan mereka atas poros Rusia agar membuka akses ke Douma bagi OPCW. Indonesia sebagai anggota Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerja Sama Islam yang dekat dengan Suriah dan Iran diharapkan memainkan peran yang bersesuaian dengan kebijakan Sekutu. Ini dipandang penting untuk mencegah rezim Suriah menggunakan senjata kimia lagi di masa mendatang, menerima proses perdamaian Suriah yang diajukan Sekutu, dan mengantisipasi kemungkinan tak ditemukannya zat kimia di tempat kejadian, baik karena memang senjata itu tak digunakan di sana atau poros Rusia telah menghilangkan bukti di lapangan. Hal yang terakhir ini bukan tidak mungkin terjadi. Kalau demikian, poros Rusia akan menguat dan, sebaliknya, Sekutu melemah. Dalam konteks inilah Sekutu memobilisasi dukungan global untuk berpihak kepada mereka. Sejauh ini Indonesia bergeming. Memang menyokong posisi Sekutu selain akan menyalahi politik luar negeri kita, juga menyalahi prinsip Non-Blok. Apalagi mengambil sikap berpihak tidak akan menyelesaikan isu Suriah yang rumit. Kiranya sudah cukup Retno LP Marsudi menyatakan secara tertulis, “Indonesia menyampaikan kecaman keras penggunaan senjata kimia di Suriah oleh pihak mana pun.” ***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*