
Smith Alhadar
Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Ada yang menarik dari demonstrasi besar-besaran rakyat Iran pada akhir Desember sampai awal Januari silam. Di tengah situasi keos ini, puluhan perempuan muda Iran di bergai kota ikut turun ke jalan untuk menyuarakan isu yang selama ini menjadi keprihatinan mereka, yakni kewajiban mengenakan hijab yang dipaksakan negara kepada mereka sejak kemenangan revolusi Islam 1979. Dimulai oleh Vida Movahed (31), yang berdiri di kotak beton di tepi jalan yang sibuk di pusat ibu kota Iran, Teheran, tanpa mengenakan hijab. Hijabnya dicopot lalu dikaitkan pada ujung sepenggal kayu sambil melambaikannya selama beberapa menit. Aksi Vida yang viral di media sosial dengan cepat diikuti oleh paling tidak 28 perempuan lainnya.
Hijab di Iran telah menjadi isu yang hangat sejak 82 tahun yang lalu ketika Reza Khan, Shah Iran pertama dari Dinasti Pahlevi, melarang pemakaian hijab yang dipandang sebagai simbol keterbelakangan perempuan. Mengikuti revolusi sekulerisme di Turki pimpinan Mustafa Kemal Attaturk, Reza Khan melancarkan modernisasi di Iran dengan sejauh mungkin menjauhkan rakyat Iran dari simbol-simbol Islam konservatif. Ulama Iran bereaksi keras. Salah satunya adalah Ayatullah Ruhullah al-Musavi al-Khomeini (Imam Khomeini) yang 43 tahun kemudian melancarkan revolusi Islam yang meruntuhkan Dinasti Pahlevi. Di bawah Republik Islam, hijab menjadi wajib dikenakan oleh seluruh perempuan Iran usia 13 tahun ke atas. Bahkan, orang asing non-Muslim sekalipun harus mengenakan hijab bila berada di Iran. Sama sebagaimana mutawin (polisi agama) di Arab Saudi yang tak segan menghukum perempuan yang rambutnya menyembul dari balik hijab, polisi moral di Iran setiap hari berkeliling kota dengan mobil bertuliskan ‘amar ma’ruf nahi munkar’ untuk mengawasi dijalankannya kode berpakaian muslimah. Perempuan yang melanggar bisa dipenjarakan paling lama dua bulan atau dikenakan denda.
Belakangan hijab menjadi isu politik di Iran untuk kepentingan elektoral bagi kubu konservatif dan reformis yang berkontestasi. Di bawah pemerintahan reformis pimpinan Presiden Ayatullah Mohammad Khatami (1997-2005) dan pemerintahan Presiden Ayatullah Hassan Rouhani (2013-sekarang) penerapan aturan berpakaian bagi perempuan diperlonggar seiring dengan dinamika globalisasi dan membesarnya generasi pasca revolusi. Saat ini di Teheran, banyak perempuan menyampirkan hijabnya sekenanya saja tanpa takut lagi pada polisi. Malah, pasca demonstrasi, polisi yang takut pada perempuan. Memang dilematis bagi pemerintah. Sekiranya tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak berhijab, akan semakin banyak perempuan yang membuang hijabnya. Bila melarangnya, resistensi perempuan terhadap negara semakin kuat. Toh, hijab telah menjadi simbol Republik Islam.
Makna yang melekat pada hijab adalah moralitas, kesopanan, identitas, dan resistensi. Nilai-nilai ini dikonfrontasikan dengan nilai-nilai Barat yang hegemonik. Tapi di Iran, resistensi perempuan justru ditujukan pada negara yang tidak menyediakan pilihan berbusana bagi perempuan. Bagi mereka, berjuang untuk dibolehkan tidak memakai hijab bukan pergulatan untuk sepotong kain, tapi perjuangan untuk martabat mereka. Karena bagi mereka, hijab telah menjadi simbol diskriminasi paling menonjol. Masih Alinejad, mantan wartawan Iran yang hijrah ke AS dan berkampanye bagi kebebasan berbusana, mengatakan kepada kaum perempuan Iran bahwa “Jika engkau tidak dapat memilih apa yang harus diletakkan di atas kepalamu, mereka (negara) tidak akan membiarkan engkau berkuasa atas apa yang ada di dalam kepalamu.”
Perjuangan menentang hijab wajib terkait erat dengan upaya mendapatkan kembali kontrol atas tubuh mereka sendiri, bukan masalah mempertanyakan keabsahan hijab itu sendiri. Ini menyangkut hak perempuan untuk memilih bagaimana berbusana. Pandangan mereka tak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan kalangan Islamis di seluruh dunia yang, kendati memandang hijab sebagai kewajiban agama bagi setiap muslimah, percaya hijab tidak harus dipaksakan negara. Bahkan, intelektual muslim seperti Nurcholish Madjid dan ahli tafsir Quraish Shihab berpendapat hijab tidak wajib.
Apapun, perjuangan perempuan Iran seperti Masih Alinejad dan Vadi Movahed telah membuahkan hasil walaupun belum maksimal. Pasca demonstrasi, polisi Iran mengumumkan bahwa perempuan Iran yang tidak memakai hijab tidak akan lagi ditahan atau dikenai denda, tapi diharuskan mengikuti kursus singkat pendidikan Islam. Keistimewaan ini hanya berlaku bagi warga Teheran yang kosmopolitan. Tentu ini belum memuaskan perempuan di seluruh penjuru Iran yang menghendaki kebebasan berbusana secara penuh. Dengan demikian, isu hijab masih akan menjadi duri dalam daging bagi Republik Islam sampai ketentuan wajib berhijab dicabut . Nampaknya Presiden Hassan Rouhani benar ketika ia mengatakan, “Orang tidak dapat memaksakan gaya hidup seseorang pada generasi masa depan.”
Leave a Reply