
Smith Alhadar
Penasihat ISMES
Referendum kemerdekaan Kurdistan Irak yang telah diselenggarakan pada 25 September berdampak besar bagi negara-negara regional dan dunia Arab. Tak heran, sejak awal Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, pemerintah pusat Irak, Iran, Turki, Suriah, serta Liga Arab menentang referendum yang dipandang dapat mendestabilkan kawasan. Komunitas Kurdi yang total populasinya sekitar 30-35 juta jiwa tersebar di Irak, Iran, Turki, dan Suriah. Kemerdekaan Kurdistan Irak jelas akan mengintensifkan gerakan separatisme Kurdi di negara-negara itu.
Di Turki ada Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara. Mereka memperjuangkan berdirinya negara Kurdistan di Turki tenggara. Di Iran terdapat Partai Kebebasan Kehidupan Kurdistan (PJAK) yang sejak beberapa tahun terakhir berjuang untuk kemerdekaan Kurdistan di wilayah barat laut Iran. Aspirasi kemerdekaan Kurdistan Iran telah lama berkembang. Bahkan, pada 1946 di bawah pimpinan Qazi Mohammad, Kurdistan Iran memproklamirkan kemerdekaan di Mahabad, Iran barat laut. Sayang, negara rapuh itu segera dilindas pasukan Shah Iran. Adapun Kurdi Suriah merupakan kelompok bersenjata paling tangguh di Suriah saat ini setelah mendapat pendidikan militer dan dipersenjatai AS. Uni Perlindungan Rakyat (YPG) – nama kelompok bersenjata Kurdi Suriah — yang kini sedang berperang di Raqqa dan Deir Az-Zor, ditakutkan akan juga memproklamirkan berdirinya negara Kurdi yang wilayahnya membentang dari timur laut hingga utara Suriah pasca perang melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Tak heran, parlemen Turki memperpanjang wewenang pemerintah menugaskan militer Turki beroperasi di Irak dan Suriah. Turki akan bertindak secara politik, ekonomi, dan keamanan sebagai reaksi atas referendum yang diselenggarakan Pemerintahan Wilayah Kurdistan (KRG). Sementara Garda Revolusi Iran menggelar latihan militer dekat perbatasan Kurdistan Irak. Sebelumnya, Iran telah menutup akses udara dan menghentikan penerbangan dari dan ke Kurdistan atas permintaan Baghdad serta mengancam membatalkan kesepakatan keamanan antara Iran dan KRG. Sebagaimana Iran dan Turki, pemerintah federal Irak juga mengancam mengambil langkah militer untuk menggagalkan hasil referendum. Negara-negara ini menganggap referendum Kurdistan ilegal, bertentangan dengan konstitusi Irak, dan hukum internasional.
Amerika Serikat, Inggris, dan PBB juga keberatan KRG menyelenggarakan referendum kemerdekaan di saat perang melawan ISIS masih berlangsung dan banyak persoalan Irak yang lebih mendesak untuk segera ditangani – seperti pembangunan kembali Irak dari kehancuran perang dan isu jutaan pengungsi yang memprihatinkan – ketimbang pelaksanaan referendum yang dapat mengalihkan perhatian dari perang melawan ISIS. Untuk membujuk KRG di bawah Presiden Masoud Barzani menunda referendum, AS, Inggris dan PBB menawarkan opsi alternatif, antara lain menunda referendum hingga minimal dua tahun, PBB menjadi sponsor dialog Baghdad-Kurdistan dalam mencapai kesepakatan pembagian minyak dan gas, dan peningkatan peran parlemen Kurdistan sehingga mereka memiliki peran setara dengan parlemen di negara merdeka. Lebih jauh, AS berjanji akan membantu KRG memperoleh hasil yang lebih baik dalam negosiasi dengan Baghdad bila referendum ditunda. Namun, opsi ini ditolak Barzani karena tidak menjanjikan kemerdekaan bagi Kurdistan.
Meskipun referendum mendapat ancaman dari Baghdad, Teheran, dan Ankara, serta penolakan DK PBB, penundaan atau pembatalan referendum akan merupakan bunuh diri politik. Isu referendum kemerdekaan telah lepas dari tangan Barzani dan beralih ke ranah publik. Untuk menetralisir argumen negara-negara regional bahwa referendum kemerdekaan bertentangan dengan Konstitusi Irak dan hukum internasionhasil, referendum dibuat tidak mengikat dan, walaupun mayoritas rakyat Kurdi memilih merdeka, Barzani tidak akan memproklamirkan kemerdekaan. Hasil referendum hanya strategi untuk memperkuat posisi KRG dalam pembicaraan penentuan nasib sendiri dengan Baghdad pasca referendum.
Liga Arab menolak referendum karena mereka ikut terpukul oleh kemerdekaan Kurdistan Irak. Hilangnya wilayah Kurdistan Irak akan mengubah peta Arab yang berdampak pada geostrategi, ekonomi, politik, dan keamanan Arab. Irak, negara Arab garis depan dalam menghadapi Iran, akan mengecil. Bahkan kekuatan militer dan ekonomi pun akan melemah karena wilayah Kurdistan merupakan penghasil gas dan minyak bumi yang cukup besar. Sementara Irak kini telah jatuh miskin akibat perang delapan tahun dengan Iran (1980-1988), perang Teluk (1991), embargo ekonomi total oleh PBB (1990-2003), perang sekatrian (2003-2014), dan perang melawan IS (2014-sekarang). Irak yang compang-camping masih ditambah dengan mengecilnya pendapatan akibat anjloknya harga minyak dunia dan utang menumpuk. Secara geostrategi, melemahnya Irak ikut melemahkan negara-negara Arab Teluk vis a vis Iran. Dari sisi ekonomi, kekuatan Arab pun berkurang yang mempengaruhi kinerja Arab melalui kekuatan ekonomi di panggung internasional.
Kekhawatiran bangsa Arab bukan hanya mengecilnya Irak, tapi juga lepasnya sebagian wilayah Suriah ke tangan Kurdi. Setelah berhasil menaklukkan ISIS di berbagai kota Suriah,YPG semakin perkasa dan percaya diri. Bukan tidak mungkin YPG juga akan mengikuti jalan KRG. Toh, secara de facto, wilayah Kurdistan Suriah telah bebas dari kekuasaan Damaskus setelah merebaknya perang saudara di negara itu. Ini akan semakin jauh melemahkan Arab. Bila Kurdistan Irak menjadi buffer zone Arab terhadap Iran dan Turki (negara non-Arab), Kurdistan Suriah menjadi buffer zone Arab menghadapi Turki.
Secara militer, Irak dan Suriah adalah pelindung Jazirah Arab dari ancaman asing dari utara. Bila nanti Kurdistan Irak merdeka, lalu kemungkinan disusul Kurdistan Suriah, pertahanan Jazirah Arab melemah. Lebih jauh, mengecilnya Suriah, yang dengan sendirinya melemahkannya, akan mempersulit Damaskus memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan miliknya yang direbut Israel pada 1967. Apalagi Suriah kini menjadi negara yang amburadul setelah terlibat perang saudara yang menghancurkan selama lebih dari enam tahun. Dampak terhadap dunia Arab adalah melemahnya bargaining power Arab vis a vis Israel terkait isu Palestina.
Belum lagi diperlukan ratusan miliar dollar AS dan waktu yang lama untuk sekadar membangun kembali Irak dan Suriah. Lepasnya Kurdistan Irak dan Suriah ikut menambah beban bangsa Arab yang sedang dilanda konflik internal antara Qatar dan tiga negara Teluk plus Mesir, isu Palestina, perang melawan ISIS, dan perang saudara di Yaman dan Libya. Di saat bersamaan, kekayaan bangsa Arab terus menguap akibat anjloknya harga minyak dunia, membesarnya pengeluaran pertahanan untuk mengimbangi Iran, biaya perang di Irak, Suriah, dan Yaman, serta bantuan sosial bagi jutaan pengungsi Suriah di Lebanon, Turki, dan Yordania.
Dalam konteks inilah kita memahami penentangan Liga Arab terhadap separatisme Kurdistan Irak. Tapi mereka tidak berdaya. Nasib bangsa Arab justru ditentukan oleh bangsa-bangsa non-Arab seperti Iran, Turki, AS dan sekutu Baratnya. Suriah tak dapat diharapkan karena sedang berdarah-darah menghadapi pemberontakan kelompok bersenjata di seluruh negeri. Baghdad juga tak dapat diandalkan mengatasi krisis Kurdistan. Selain sedang terlibat perang melawan ISIS, milisi Kurdi (Peshmerga) bukan lawan yang enteng. Mereka memiliki militer yang tangguh dan pengalaman perang.
Namun, Peshmerga akan kewalahan menghadapi pasukan federal Irak, Iran, dan Turki secara bersama-sama. Langkah awal yang akan dilakukan adalah menutup aliran minyak KRG ke pelabuhan Ceyhan di Turki. Dengan demikian, KRG akan tercekik. Kalau ini masih tidak mempan, hampir pasti ketiga negara ini akan mengerahkan kekuatan militer, tak peduli perang melawan ISIS akan terbengkalai. Kemerdekaan Kurdi merupakan masalah kelangsungan hidup Irak, Suriah, Iran, dan Turki.
Tapi memadamkan api kemerdekaan Kurdi juga tidak mudah. Mereka merupakan bangsa terbesar di dunia yang tidak punya negara. Sementara mereka hidup di bawah penindasan politik dan budaya di Irak, Iran, Suriah, dan Turki. Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat antara KRG dan Baghdad untuk mendirikan negara sipil yang demokratis tidak dilaksanakan Baghdad yang didominasi kaum Syiah. Di Iran, negara teokrasi Syiah mendiskriminasi populasi Kurdi yang mayoritas bermazhab Sunni. Turki menerapkan nasionalisme ekstrim yang mengabaikan identitas budaya Kurdi. Pan-Arabisme yang dipeluk rezim Suriah juga mengabaikan identitas etnis minoritas. Tak heran, keinginan merdeka bersemayan di hati seluruh rakyat Kurdi dan, melalui referendum,mayoritas rakyat Kurdi Irak memilih merdeka. Karena referendum tidak mengikat dan Barzani tidak memproklamirkan kemerdekaan, terbuka peluang penyelesaian diplomatik yang tidak mengorbankan aspirasi minimal Kurdi.
Leave a Reply