Bahasa Arab, Quran, dan Keindonesiaan

Oleh Dr. Ismail Suardi Wekke *)

Sebagai bahasa kitab suci, bahasa Arab menjadi mata pelajaran utama bagi umat Islam. Ketika sudah bisa mengangkat seember air, itu saat bagi kami anak kampung untuk mulai belajar membaca Quran. Maka, orang tua akan mengantar sang anak untuk mengaji ke imam kampung. Belum ada metode Iqra dan al-Barqiy saat 35 tahun yang lalu. Hanya ada metode Baghdhadiy.

Saat mengajipun hanya dengan kemurahan hati Sang Guru. Tidak ada urusan bayar-membayar. Semuanya karena keinginan melihat anak-anak mahir membaca Quran. Begitu musim panen tiba, kami turun membantu guru untuk mengurus sawahnya. Sementara setiap hari, ada murid senior yang akan mengingatkan kewajiban mengangkat air, memastikan tempayan guru tidak ada yang kosong.

Interaksi kali pertama dengan bahasa Arab bagi seorang muslim adalah proses belajar membaca Quran. Ketika itu dilakukan dengan dorongan orang tua. Tatkala menginjak aqil baligh, justru pelajaran keagamaan semakin intensif. Tidak lagi sekadar untuk membaca Quran saja tetapi juga untuk kemampuan pemahaman keagamaan. 70 tahun yang lalu, Gontor memelopori pembelajaran bahasa Arab modern. Tidak hanya fokus pada pemahaman bacaan saja, tetapi juga pada kemampuan komunikatif.

Kesadaran akan urgensi bahasa Arab kemudian menempatkan prioritas pembelajaran madrasah pada penguasaan bahasa Arab. Bertahun-tahun, proses belajar agama ditopang dengan perlunya kemampuan berbahasa terlebih dahulu. Setelah kemampuan bahasa sudah kukuh, maka kajian fikih kemudian lebih mudah untuk diselesaikan.

Proses inovasi untuk kemudahan belajar bagi pembelajar menjadi satu perhatian tersendiri. Lahirlah metode untuk memudahkan belajar membaca Quran. Seperti Iqra yang diinisiasi As’ad Humam, menjadi kesempatan bagi seorang anak, hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 3 bulan untuk menuju ke juz 30 yang kami istilahkan dengan Quran kecil.

Metode Iqra bahkan juga dipakai di negara-negara Asia Tenggara. Ini dapat dimaknai bahwa kepentingan belajar bahasa Arab adalah tanggung jawab setiap muslim, bukan hanya bagi orang Arab saja. Tetapi, sekali lagi, bagi setiap muslim

Maka, Islam sesungguhnya tidak lagi melihat pada ras dan kebangsaan. Islam menjadi sebuah nilai universal yang dapat saja bersenyawa dengan keadaan apapun yang kemudian disebut budaya. Hanya saja, adanya bahasa Arab menjadi lingua franca bagi dunia Islam. Ada bahasa yang sama untuk menyatukan semua suku bangsa yang berbeda dalam bahasa yang sama. Kepentingan belajar bahasa Arab menjadi kewajiban individual. Tidak akan sempurna keberagamaan seorang muslim tanpa penguasaan bahasa Arab.

*)) Dr. Ismail Suardi Wekke, Dosen STAIN Sorong & Divisi Riset ISMES

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*