Oleh: Smith Alhadar
Penasihat ISMES; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Krisis Qatar yang pecah pada 5 Juni – seiring dengan pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir dan blokade darat, laut, dan udara mereka atas Qatar – kini memasuki babak baru. Babak baru ini ditandai oleh keterlibatan secara langsung AS dalam upaya mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, perubahan sikap keempat negara yang menghukum Qatar, dan ancaman senat AS akan memboikot penjualan senjata ke tiga negara Teluk (Saudi, UEA, dan Bahrain) bila sanksi atas Qatar tidak dicabut.
Berbeda dengan sikap Presiden AS Donald Trump yang pro-kubu Saudi, lawatan empat hari (10-13 Juli) Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson ke Kuwait, Qatar, dan Saudi guna mencari penyelesaian atas krisis yang tidak menguntungkan AS ini memperlihatkan kecondongan AS mendukung posisi Qatar. Krisis dipicu oleh tuduhan kubu Saudi bahwa Qatar mendukung terorisme. Maka, di Doha, Tillerson dan Menteri Luar Negeri Qatar Muhammad bin Abdurrahman bin Hamad Al-Thani menandatangani nota kesepahaman tentang upaya kedua negara memberantas pendanaan bagi terorisme. Kerja sama memerangi kelompok teroris telah lama dijalankan AS-Qatar. Dengan modal ini, Tillerson berangkat ke Arab Saudi, untuk bertemu para menteri luar negeri Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir. Tillerson malah juga bertemu Putera Mahkota Saudi Muhammad bin Salman bin Abdul Aziz Al-Saudi dan Raja Salman sendiri. Tillerson berharap nota kesepahaman itu dapat membuka ruang negosiasi antara Qatar dan musuh-musuhnya. Sayang, kubu Saudi melihat nota kesepahaman itu belum memadai. Memang tuduhan bahwa Qatar mendanai kegiatan terorisme dan mendukung kelompok teroris hanyalah salah satu dari sepuluh tuduhan yang dialamatkan kubu Saudi kepada Qatar. Untuk menyelesaikan krisis ini kubu Saudi menuntut Qatar memenuhi tiga belas tuntutan. Namun, Qatar menolak. Doha bersedia berunding atas beberapa dari tiga belas tuntutan itu dengan syarat sanksi kubu Saudi dicabut terlebih dahulu.
Sikap Qatar ini bisa dimaklumi mengingat tuntutan-tuntutan itu sangat provokatif dan melecehkan kedaulatannya. Beberapa tuntutan itu, di antaranya, Doha harus menutup jaringan media Al Jazeera, menutup segera pangkalan militer Turki, dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Tuntutan lain, Qatar harus menghentikan dukungan pada kelompok teroris dan sektarian, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hamas, al-Qaeda, ISIS, dan Hezbullah.
Al Jazeera dikenal sebagai televisi yang profesional dengan standar jurnalisme yang tinggi. Ia dijalankan oleh wartawan-wartawan hebat yang direkrut dari berbagai penjuru dunia. Jaringan media ini sangat populer di Timur Tengah, bahkan di seluruh dunia, karena menyuarakan aspirasi orang-orang yang tidak dapat bersuara. Menuntut Al Jazeera ditutup adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Qatar dan kebebasan berekspresi serta hak rakyat mendapatkan informasi dan didengar. Sebenarnya tuntutan ini lebih terkait dengan sikap kritis Al Jazeera terhadap kebijakan para penguasa represif dan otoriter di kawasan yang dapat membawa masyarakat Timur Tengah mempertanyakan segala hal yang dilakukan penguasa mereka. Puncak kemarahan Saudi, UEA, dan Mesir terjadi pada 2011 ketika Al Jazeera yang bermarkas di Qatar itu mendukung Arab Spring yang ikut digerakkan oleh IM. Belakangan, setelah bertemu Tillerson, kubu Saudi mengubah sikap dengan tidak lagi menuntut Al Jazeera ditutup melainkan hanya sekadar restrukturisasi. Perubahan sikap kubu Saudi ini juga tak lepas dari tekanan institusi-institusi media internasional yang mendukung sikap Qatar.
Posisi kubu Saudi mulai goyah disebabkan mereka bertolak dari premis yang salah. Ditetapkannya IM sebagai organisasi teroris juga tidak didukung oleh komunitas internasional, termasuk AS dan Inggris. Masalahnya, IM tidak berjuang melalui jalan kekerasan. Di Yordania, Kuwait, dan Tunisia, IM menjadi kelompok politik resmi. Saudi dan UEA bahkan mendukung Partai Islah di Yaman, yang notabene adalah partai IM. Mesir di bawah Presiden Abdul Fatah El-Sisi menetapkan IM sebagai organisasi teroris karena ia menghadapi perlawanan kelompok ini di dalam negeri setelah ia, didorong oleh Saudi dan UEA, melakukan kudeta terhadap Presiden Muhammad Mursi dari IM yang terpilih melalui pemilu demokratis.
Tuntutan agar Qatar menutup pangkalan militer Turki tidak relevan. Mengapa mereka tidak menuntut penutupan pangkalan udara Al-Udeid milik AS di Qatar? Mengapa pula Saudi tidak menuntut penutupan pangkalan udara Perancis di UEA dan markas Armada ke-5 AS di Bahrain? Pangkalan militer Turki di Qatar hanya mampu menampung maksimal 5.000 personel militer – saat ini hanya memiliki beberapa ratus tentara — sementara pangkalan Al-Udeid kini menampung sekitar 10.000 tentara AS. Karena kecilnya kapasitas militer Turki di Qatar, ia tidak akan menjadi ancaman keamanan bagi negara sekitar. Apalagi ia harus berhadapan dengan AS. Munculnya tuntutan penutupan pangkalan militer Turki ini terkait dengan keberpihakan Turki pada Qatar dalam krisis Teluk ini dan dukungan Ankara pada IM.
Juga tidak adil menuntut Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran sementara membiarkan UEA, Oman, dan Kuwait mempertahankan hubungan baik dengan negara Teluk terbesar itu. Bahkan, UEA merupakan mitra dagang terbesar Iran. Doha harus berhubungan baik dengan Teheran karena keduanya membagi ladang gas bersama di Teluk. Qatar memandang tidak bijaksana memusuhi Iran, negara besar Timur Tengah. Namun demikian, Qatar berseberangan dengan Iran dalam beberapa isu. Kendati mendukung Hezbullah pro-Iran di Lebanon, Qatar berseberangan dengan Iran dalam perang proxy di Suriah. Doha, sebagaimana Saudi dan UEA, mendukung kelompok Islamis bersenjata untuk mendongkel rezim Presiden Bashar al-Assad, sementara Iran sebaliknya. Dukungan Qatar pada Hezbullah lebih disebabkan keinginan Qatar menanamkan pengaruh di Lebanon. Toh, Hezbullah adalah partai politik yang memiliki anggota di parlemen. Di Yaman, Iran mendukung kelompok Syiah Houthi, sedangkan Qatar ikut koalisi Arab pimpinan Saudi melawan pemberontak kelompok itu.
Qatar memang merangkul Hamas, tapi tidak ada bukti Doha mendukung al-Qaeda dan ISIS. Faktanya, pangkalan udara Al-Udeid digunakan AS dan Inggris untuk menyerang ISIS di Irak dan Suriah dan Taliban di Afghanistan. Dukungan Qatar pada Hamas dengan membuka biro politiknya di Doha sudah sesuai dengan rekomendasi AS untuk membujuk Hamas melepaskan perjuangan bersenjata. Dan Qatar berhasil. Belum lama ini Hamas mengubah piagam perjuangannya dengan mendeklarasikan pemutusan hubungan dengan IM, menekankan perjuangannya tidak lagi berkaitan dengan agama, dan secara tidak langsung mengakui eksistensi Israel karena Hamas hanya menuntut teritori di Jalur Gaza dan Tepi Barat untuk Palestina Merdeka kelak.
Kebijakan menetapkan Hamas sebagai kelompok teroris tak lain untuk memojokkan Iran yang mendukung Hamas dan untuk menyenangkan AS dan Israel. Bukankah kedua negara ini, terkait Hamas, sepandangan dengan Mesir dan Saudi? Sejak kesepakatan nuklir antara Iran dengan AS, China, Rusia, Inggris, Perancis, plus Jerman dicapai, kerja sama Saudi dan Israel kian menonjol. Saudi membuka teritori udaranya untuk pesawat tempur Israel dan pertukaran intelejien antara kedua negara. Berkuasanya Trump menciptakan atmosfir yang kian kondusif bagi kerja sama anti-Iran antara Riyadh dan Tel Aviv dengan sokongan AS.
Krisis Qatar mengacaukan strategi AS di Timur Tengah. Upaya memerangi ISIS akan terganggu. Demikian pula upaya mengisolasi Iran. Meskipun tidak ideal, Iran dapat menggantikan posisi Saudi, UEA, dan Bahrain dalam menyuplai pangan dan membuka akses bagi transportasi laut dan udara Qatar. Dengan demikian, blokade dan sanksi ekonomi-politik yang dimaksudkan untuk membuat Qatar bertekuk lutut dan mengisolasi Iran, justru akan memaksa Qatar memperkuat hubungan dengan negara itu. Dalam konteks inilah Senator Bob Corker, Ketua Komite Urusan Luar Negeri AS yang berpengaruh, mengancam akan menghalangi penjualan senjata AS ke Saudi, UEA, dan Bahrain, kalau tidak segera memulihkan hubungan dengan Qatar. Keterlibatan langsung Inggris, Perancis, dan Jerman dalam upaya mendamaikan mereka menggambarkan keprihatinan mereka atas langkah yang diambil kubu Saudi. Stabilitas dan perdamaian di Teluk sangat dibutuhkan mengingat lebih dari 50 persen kebutuhan energi Eropa berasal dari Teluk.
Dengan ditandatanganinya kesepahaman antara Qatar dan AS dalam masalah pendanaan bagi terorisme, Tillerson memperkuat bargaining position Qatar vis a vis kubu Saudi. Hal ini membuat hubungan Qatar-kubu Saudi kian tegang. Konsesi yang diberikan Emir Qatar kepada Tillerson menekan kubu Saudi. Sebaliknya, membuat Qatar semakin sulit membuat konsesi-konsesi lain yang lebih signifikan. Mengingat kubu Saudi tak mau kehilangan muka, akan ada manuver baru untuk memperbaiki posisinya terhadap Qatar yang akan membuat krisis Qatar kian dalam dan luas.
Editor: Fahmi S
Leave a Reply