AS DI ANTARA IRAN DAN KOREA UTARA

 

Smith Alhadar

Penasihat pada Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Di tengah krisis Semenanjung Korea yang terus bereskalasi, Kongres AS menjatuhkan sanksi pada Iran terkait uji coba rudal balistik dan tuduhan Garda Revoluioner Iran (Pasdaran) mendukung terorisme global. Parlemen Iran pun merespons dengan menyetujui secara aklamasi peningkatan jumlah anggaran bagi pengembangan rudal balistik dan program-program Pasdaran. Sementara tekanan AS pada Korea Utara (Korut) melalui China, DK PBB, dan kehadiran militer AS secara besar-besaran di sekitar Semenanjung Korea untuk memaksa Korut meninggalkan uji coba rudal balistik dan nuklir, dijawab Pyongyang dengan ancaman menembakkan empat rudal balistik ke dekat pangkalan militer AS terbesar di Guam. Dua krisis ini tentu sulit mencari jalan keluarnya tanpa kesediaan Washington mencari solusi yang fair dengan mempertimbangkan kepentingan nasional Iran dan Korut.

Uji coba rudal balistik Iran tidak menyalahi kesepakatan nuklir yang dicapai antara Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Inggris, Perancis, China) plus Jerman. AS, yang mendapat laporan dan Badan Energi Atom Internasional, mengakui itu. Dalam kesepakatan itu, Iran setuju membatasi pengayaan uranium hingga ke tingkat yang tidak memungkinkannya membuat bom nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi dan keuangan internasional. Tapi rudal balistik yang dikembangkan Iran ditengarai bisa membawa hulu ledak nuklir dan karena itu dianggap mencederai semangat kesepakatan. Namun, penjatuhan sanksi AS pada entitas dan individu yang melakukan transaksi terkait program rudal balistik Iran dan orang-orang yang berbisnis dengan negara itu sama sekali tidak fair karena pada saat bersamaan AS menjual senjata ke Arab Saudi, rival utama Iran di Timur Tengah, senilai US$ 110 miliar. Washington pun meningkatkan bantuan militer pada Israel, musuh bebuyutan Iran, yang terus mengancam akan menyerang situs-situs nuklir Iran. Invasi rezim Saddam Hussein ke Iran yang berujung pada perang yang menghancurkan selama delapan tahun (1980-1988) di mana AS dan Eropa membantu sang agresor – serta embargo senjata pada Iran hingga hari ini — meyakinkan Teheran bahwa ia harus membangun pertahanan yang kuat. Dengan kata lain, lomba senjata di Timur Tengah saat ini dipicu oleh dinamika politik-militer kawasan di mana AS mempunyai andil besar.

Korut, bertetangga dengan dua negara nuklir (China dan Rusia) serta Korsel yang menampung puluhan ribu tentara AS, tercengkram oleh perasaan tidak aman. Komunisme yang dipraktekkan di Korut di tengah hegemoni kapitalis AS ikut menambah kecurigaan Pyongyang pada perangai AS yang rutin menyelenggarakan latihan militer bersama Korsel. Perang tiga tahun (1950-1953) dengan Korsel yang dibantu pasukan AS – yang hampir saja mengalahkan Korut kalau tidak dibantu militer China – memicu Korut membangun kekuatan militer di semua matra pasca perang. Maka, memaksa Korut meninggalkan program rudal balistik dan nuklir tanpa konsesi yang signifikan, yang menjamin kelangsungan hidup sistem komunis, mendapatkan keamanan, dan keuntungan ekonomi, tidak akan diterima Pyongyang.

Bisa difahami sikap AS yang tidak akan mengakui Korut sebagai negara nuklir karena hal itu mengancam keamanan AS dan memacu lomba nuklir bukan hanya di kawasan, tetapi juga di dunia, termasuk melemahkan posisi AS vis a vis Iran. Sesuai kesepakatan dengan P5+1, Iran dapat memulai lagi program nuklirnya setelah sepuluh tahun. Bahkan sekiranya AS menyetujui program rudal balistik Korut sebagai jalan kompromi, itu sama saja dengan AS menyetujui program rudal balistik Iran yang memungkinkan negara itu memainkan peran hegemoni di kawasa vital itu.

Bagaimanapun, AS tidak dapat menyelesaikan isu Iran dan Korut dengan menjalankan politik belah bambu. Menginjak Iran untuk mengisolasi dan melemahkan militernya tidaklah mungkin. Secara geografis, Iran sangat strategis. Negeri para mullah ini kaya sumber energi dan menguasai teknologi militer. Sudah terbukti sejak terkena embargo senjata AS dan Eropa sejak 1979, Iran bisa mengembangkan kebutuhan militernya secara mandiri. Kesepakatan nuklir juga merupakan kesepakatan internasional, yang tidak dapat dibatalkan atau diutak-atik begitu saja oleh AS. Terlalu menekannya akan membuat Teheran semakin merapat ke Rusia dan China yang tentu tidak sesuai dengan sasaran AS. Menghadapi Korut pun tidak dapat dilakukan dengan ancaman militer. Korut terlalu kuat dan tidak akan ditinggalkan China, sekutu Korut, bila rezim Kim Jong Un terancam jatuh. Diperlukan akal sehat, confidence building, dan menghormati martabat lawan sebagai prasyarat bagi dimulainya dialog yang sepadan untuk mencari solusi. Toh, Washington juga butuh kerja sama Iran untuk mengatasi krisis Afghanistan, perang di Yaman, Suriah, dan Irak. Dan As membutuhkan Korut untuk proses unifikasi dengan Korsel, yang akan memberikan AS pijakan yang kuat di Semenanjung Korea untuk mengimbangi China di kawasan.
editor : Fahmi

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*