
Smith Alhadar
Penasihat ISMES
Tujuh tahun setelah Arab Spring berlangsung di dunia Arab yang menjatuhkan sejumlah diktator, kini giliran rezim Iran menghadapi gelombang protes sosial yang semakin sulit untuk dikendalikan. Penyebab Arab Spring di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah mirip dengan apa yang sedang berlangsung di Iran, yakni keluhan tentang situasi ekonomi yang sangat menyulitkan kehidupan rakyat, sementara elite penguasa yang terlibat dalam korupsi abai terhadap apa yang menjadi keluhan rakyat. Apakah Arab Spring yang sedang berlangsung di Iran akan juga menghancurkan rezim yang berkuasa?
Demonstrasi rakyat Iran yang berawal di kota Mashhad pada 28 Desember dengan cepat menjalar ke kota-kota lain, termasuk ibu kota Teheran, melalui media sosial. Inilah demonstrasi terbesar sejak 2009 saat rakyat memprotes kemenangan Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilihan presiden. Demonstrasi yang kini telah menemukan momentum menggambarkan rakyat Iran yang resah oleh harga bahan pokok yang melambung hingga 40 persen, tingkat pengangguran yang tinggi, jurang kaya-miskin yang semakin lebar, maraknya korupsi, besarnya pengeluaran untuk operasi militer dan dukungan pada milisi-milisi di kawasan, dan ketiadaan pertanggungjawaban pemerintah untuk semua dana negara yang dibelanjakan. Para demonstran juga mengecam Presiden Hassan Rouhani dan menuntut pemimpin tertinggi (rahbar) Ayatullah Ali Khamenei yang telah memerintah Iran lebih dari 28 tahun mundur. Sebenarnya kinerja pemerintahan Rouhani dari kubu moderat tidak terlalu buruk. Di bidang kebijakan luar negeri, ia berhasil menyelesaikan isu nuklir dengan P5+1 (AS, Tiongkok, Rusia, Inggris, dan Perancis) plus Jerman, yang membuat Iran bebas dari sanksi ekonomi dan keuangan internasional.
Kinerja Ekonomi, Sosial, Politik
Di bidang sosial-politik, pemerintahan Rouhani melonggarkan kebebasan sipil. Ini ditandai oleh kebebasan mahasiswa melaksanakan kegiatan di kampus dan LSM-LSM mulai beroperasi kembali. Sensor terhadap produk budaya dan seni berkurang. Kaum wanita pun mulai bebas mengenakan gaun yang disukainya sepanjang gaun itu sopan. Sementara obat-obatan tersedia dengan harga terjangkau. Pelayanan kesehatan universal pun diberlakukan. Di bidang ekonomi, inflasi berhasil diturunkan menjadi satu digit dan produk nasional bruto riil tumbuh hingga 7,4 persen. Namun, rakyat Iran menganggap semua itu belum cukup. Apalagi sejak diimplementasikannya kesepakatan nuklir pada Januari 2016 – di mana sanksi ekonoimi dan keuangan internasional atas Iran dicabut sebagai imbalan Iran membatasi pengayaan uranium hingga ke tingkat di mana negara mullah itu tidak mungkin membuat senjata nuklir — kondisi ekonomi Iran belum banyak berubah. Anjloknya harga minyak dunia hingga tinggal setengah adalah salah satu penyebabnya.
Menurut Bank Sentral Iran, pada Agustus lalu pengangguran mencapai 12,7 persen dalam tahun fiskal ini. Kendati inflasi turun dan GDP rill terus tumbuh, laporan IMF pada Februari lalu mengungkapkan pertumbuhan di sektor nonmigas rata-rata hanya 0,9 persen, merefleksikan kesulitan yang terus terjadi dalam akses keuangan Iran mengingat bank-bank negara Barat enggan membiayai kesepakatan bisnis yang dibuat Teheran karena masih takut pada sanksi AS. Buruknya ekonomi dijadikan senjata oleh kubu oposisi dan aktivis antipemerintah. Mereka juga menunjuk potret buram rakyat Iran, yakni di tengah maraknya korupsi, 10 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan absolut dan 30 juta hidup di bawah garis kemiskinan relatif dari 80 juta jiwa penduduk.
Kebijakan politik détente pemerintahan Rouhani yang ingin menciptakan lingkungan regional yang kondusif bagi pembangunan dalam negeri tidak meredakan ketegangan dengan kerajaan-kerajaan Arab di Teluk. Malah hubungan Iran dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain terus bereskalasi. Keterlibatan Iran dalam petualangan militer dan diplomasi di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman, membuat mereka memandang Iran sebagai destabilitaor kawasan dan menghadirkan ancaman nyata bagi kedaulatan mereka. Harapan Rouhani akan berbaikan dengan AS pun pupus setelah Donald Trump memenangkan pilpres. Di bawah Trump, AS menjalankan politik pembendungan terhadap Iran. Bahkan, Trump telah menolak menyertifikasi kesepakatan nuklir yang membuka peluang Kongres mengembalikan sanksi ekonomi atas Iran. Ini sedikit banyak menghambat perkembangan Iran.
Keterbatasan Rouhani
Terjadinya kesenjangan antara politik détente Rouhani dan de facto kebijakan regional Iran yang ekspansif disebabkan kekuasaan presiden Iran agak terbatas. Kebijakan politik luar negeri dibuat oleh elite Iran dengan persetujuan Khameni dan dijalankan oleh Korps Garda Revolusi yang berasal dari kubu konservatif. Ideologi kubu konservatif dapat dikenali sebagai berikut. Di bidang politik, kebijakan luar negeri kubu konservatif adalah resistensi terhadap Barat, terutama AS, dan cenderung membantu proxy-nya di luar negeri untuk kepentingan nasionalnya. Di bidang budaya, mereka berpandangan budaya Iran lebih kaya ketimbang budaya bangsa lain, karena itu kebudayaan Barat harus dibendung. Tak heran, mereka melarang parabola, mengontrol ketat internet, dan mengawasi kode berpakaian. Ini selain meningkatkan ketegangan dengan Barat, juga membuat program kerja pemerintahan kubu moderat tak dapat berjalan maksimal.
Menanggapi demontrasi di Iran, Trump meminta komunitas internasional mendukung para demonstran. Ia juga menuntut agar Iran menghormati hak-hak rakyat sipil berekspresi secara bebas dan menyebut pemerintah Iran sebagai korup dan hanya menghabiskan dana negara untuk membantu kelompok-kelompok ekstrimis di mancanegara. Nampaknya Trump memanfaatkan momen ini untuk menekan Iran. Bahkan ia melihat terbuka peluang untuk menjatuhkan pemerintahan Rouhani. Namun, kebencian dan penghinaan AS atas martabat bangsa Iran selama ini nampaknya tidak akan membuat rakyat Iran mengikuti arahan Washington. Sikap agresif Trump terhadap pemerintahan moderat yang berkuasa di Iran disebabkan kata putus untuk semua kebijakan Iran yang strategis berada di tangan Khamenei. Inilah yang menjelaskan mengapa para demonstran mengutuk Khamenei.
Khamenei Mundur
Melihat luasnya kekecewaaan rakyat Iran pada rahbar, agaknya Khamenei yang kini telah berusia 78 tahun perlu mempertimbangkannya untuk mundur. Apalagi ia kini mulai sakit-sakitan. Terbetik berita bahwa Khamenei menginginkan Ibrahim Raisi — guru besar hukum Islam dan berkarir lama di kementerian kehakiman serta orang dekat sekaligus murid Khamenei – yang masih muda menggantikannya. Raisi juga dekat dengan Pasdaran (pengawal revolusi), badan keamanan, dan milisi Basij (relawan). Tahun 2016, Khamenei mengangkatnya sebagai Ketua Yayasan Astan Quds Razavi, yayasan pemelihara makam suci Imam Reza di Mashhad, yang merupakan konglomerat dengan aset bernilai miliaran dollar AS.
Raisi, pesaing Rouhani yang kalah dalam pilpres Mei tahun lalu, beraliansi dengan militer/badan keamanan. Tetapi keinginan Khamenei ini belum tentu terwujud karena tiga hal. Pertama, kalau Raisi terpilih sebagai rahbar, konflik Iran versus Arab-AS akan berlangsung keras. Washington telah menjatuhkan sanksi atas Raisi yang berasal dari kubu konservatif terkait keterlibatannya dalam penyiksaan terhadap tahanan saat menjadi Jaksa Agung. Kedua, di dalam negeri posisi Raisi tidak kuat. Kelompok pembela HAM mempertanyakan legitimasi moralnya. Pada 1988, Raisi memimpin Komisi Maut yang mengeksekusi mati sekitar 30 ribu anggota Mujahidin-e Khalq, kelompok oposisi berhaluan Islam-Marxis yang melancarkan aksi pemboman di kota-kota Iran.
Ketiga, posisi presiden berperan menentukan dalam pengangkatan rahbar baru. Memang presiden tidak terlibat secara langsung dalam proses seleksi rahbar, tetapi memainkan peran penting. Konstitusi Iran menyatakan, dalam hal rahbar meninggal dunia atau tidak dapat menjalankan tugasnya lagi, maka presiden adalah figur kunci di dalam dewan yang akan mengambil alih tugas rahbar.Selain presiden, duduk dalam dewan ini adalah pemimpin lembaga yudikatif dan ahli hukum dari Dewan Pengawas (Majlis-e Nigahban). Karena tidak ada keharusan tentang batas waktu proses pengangkatan rahbar, dewan yang berkuasa sementara dapat berkuasa dalam waktu lama. Rouhani sebagai presiden tidak akan membiarkan Raisi menjadi rahbar yang akan semakin mengekang kekuasaannya, membuat Iran semakin terkucil dari pergaulana internasional, dan makin memburuknya situasi ekonomi dalam negeri. Memang Raisi adalah anggota Dewan Ahli (Majlis-e Khubragan) — terdiri dari 88 orang ulama – yang berkuasa atas pengangkatan rahbar. Tetapi realitas politik di lapangan menjadi penghalang utama bagi munculnya tokoh konservatif sebagai rahbar. Rakyat Iran telah lelah di bawah kepemimpinan rahbar konservatif.
Demonstrasi rakyat di berbagai kota – kendati belum menjadi kekuatan revolusioner – haruslah menjadi peringatan bagi elite Iran akan perlunya reformasi di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Pengentasan kemiskinan, distribusi kekayaan secara adil, pembasmian korupsi, dan pemerintahan yang akuntabel. Petualangan politik di kawasan harus dihentikan dan kekuasaan lembaga Velayat-e Faqih (otoritas ulama fikih) juga harus dikurangi kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali agar Iran benar-benar menjadi negara demokratis. Terakhir, Iran membutuhkan rahbar baru yang mengerti lingkungan internal, regional, dan internasional untuk menjadi warga dunia yang bertanggung jawab dan ikut menciptakan perdamaian dunia. Salah perhitungan atas apa yang harus dilakukan rezim berkuasa untuk merespons demonstrasi yang terus membesar bisa jadi akan menumbangkan penguasa Iran sebagaimana tumbangnya diktator Zainal Abidin Ben Ali dari Tunisia, Hosni Mubarak dari Mesir, Moammar Khadafy dari Libya, dan Ali Abdullah Saleh dari Yaman. Melawan tuntutan rakyat akan membuka pintu bagi masuknya intervensi asing yang berujung pada perang proksi seperti yang dialami Suriah.
Editor: Fahmi s
Dimuat di harian kompas 4 Januari 2018
Leave a Reply