Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi telah mengumumkan bahwa kota Mosul, Irak, telah direbut dari ISIS dan kini mereka berpindah ke kota Tal Afar (Kompas.com, 11/7). Hari demi hari, ISIS mengalami kekalahan yang telak, dan kini posisi mereka semakin melemah, apalagi setelah pemimpin tertingginya Abu Bakar Al-Baghdadi telah tewas beberapa waktu yang lalu.
Lantas, apa yang terjadi jika ISIS secara organisasi jatuh?
Pertama, sel-sel yang ada akan tetap memperjuangkan ISIS walaupun harus “tiarap”, bukan dalam bentuk perang terbuka seperti sekarang. Skenario ini bisa diambil oleh mereka lewat sel-sel mereka yang ada di Irak dan Suriah maupun dari relawan mereka yang tersebar di berbagai negara. Skenario “hit and run” (tembak dan lari) bisa jadi diambil karena posisinya yang lemah menghadapi kekuatan militer yang kuat–seperti yang dipraktikkan loyalis ISIS di Indonesia saat ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa organisasi teror bisa saja hancur, akan tetapi selama ideologinya masih diyakini, maka peluang untuk mereka reorganisasi kembali sangat mungkin terjadi.
Kedua, bisa jadi Al-Qaeda akan mengambil alih kembali kepemimpinan jihad global yang sebelumnya telah mereka kampanyekan terutama pada 9/11. Perjuangan ISIS memang lebih terbuka, frontal, dan mendirikan negara, sedangkan Al-Qaeda lebih banyak menyerang kekuatan “musuh jauh” dan tidak mendirikan negara. Ketika ISIS mulai menanjak, Al-Qaeda sepertinya disepelekan begitu saja, dan di berbagai media juga menunjukkan fakta bahwa Al-Qaeda menjadi kalah populer dibanding ISIS.
Ataukah, pasca tewasnya Osama bin Laden (pada 2 Mei 2011 di Abottabad Pakistan), kepemimpinan Ayman Al-Zawahiri dianggap tidak sekuat Osama untuk mengerakkan jihad global? Tapi, Al-Qaeda yang sekarang, mengutip Daveed Gartenstein dari Foundation for Defense of Democracies, memilih jalan “more covert and discreet” (lebih rahasia dan berhati-hati), sampai sekarang masih eksis juga tidak bisa disepelekan pengaruhnya. Al-Qaeda bisa saja saat ini menunggu di tikungan. Ketika ISIS jatuh, mereka bangkit kembali merebut bendera jihad global. Mungkin ada betulnya kata Bruce Hoffman dari Georgetown University, “saat Barat berfokus ke ISIS, Al-Qaeda membangun kembali kontrolnya jika ISIS jatuh.”
Ketiga, antisipasi jatuhnya Timur Tengah kabarnya dipersiapkan dengan ISIS di Asia Tenggara. Pertempuran antara kelompok Maute dan militer Filipina yang saat ini terjadi juga tidak lepas dari isu pertempuran terhadap ISIS karena Maute telah berbai’at pada ISIS. Jika mereka hendak membuat Daulah Islam atau Kekhalifahan di Asia Tenggara, maka bisa jadi mereka akan diperkuat oleh loyalis asal Filipina, Indonesia, dan Malaysia, ditambah dengan mereka yang berpindah dari Timur Tengah. Memang, sampai saat ini tidak banyak info soal masuknya kombatan ISIS dari Eropa ke Filipina, akan tetapi hal itu bisa jadi ada karena pemuda Eropa–terutama yang masih labil soal status mereka yang “generasi kedua” imigran–dan terpengaruh oleh cita-cita hidup di negeri Islam dan mati syahid.
Terkait dengan kemungkinan didirikannya Daulah Islam sebagai “pengganti” atau “cabang jauh” ISIS Pusat, maka langkah kerjasama yang telah dilakukan antara Filipina, Malaysia, dan Indonesia telah baik. Artinya, melokalisir konflik hanya di Marawi saja adalah langkah yang baik sekali, agar tidak menyebar ke tetangga terdekat–Indonesia dan Malaysia, atau mungkin juga Brunei Darussalam. Tapi, pendekatan tiga negara tersebut sepertinya lebih banyak bersifat militer ketimbang kultural. Maksudnya, pendekatan militer itu efektif untuk mencegah infiltrasi kelompok teror, akan tetapi hulu dari gerakan teror itu adalah pada pemikiran. Jika pemikiran teror telah ada, kemudahan mengkafirkan oranglain, maka kemungkinan untuk seseorang bergabung dengan gerakan teror–seperti kasus rencana Agus Wiguna–sangat mungkin terjadi. Hanya berbekal belajar dari internet, terpengaruh, dan berani melakukan teror.
Kita kembali ke judul tulisan ini: Apa setelah ISIS jatuh? Setelah ISIS jatuh, gerakan teror sepertinya tidak berhenti begitu saja. Masih ada banyak gerakan lainnya seperti Al-Qaeda yang masih aktif, dan keinginan untuk balas dendam kepada Barat–yang dianggap tidak adil terhadap masyarakat Islam–juga tidak pernah sepi. Artinya, jika masih ada kelompok yang ingin balas dendam, bisa jadi teror akan tetap terjaga.
Maka, untuk mengantisipasi agar pemikiran teror tidak melanda masyarakat, perlu rasanya para tokoh untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa perjuangan lewat teror–apalagi di negeri-negeri yang aman–itu tidak dibenarkan, apalagi oleh agama. Agama menghormati jiwa, harta, kehormatan, dan nasab manusia agar dijaga untuk terciptanya kemakmuran bumi. Maka, para tokoh agama–tentu saja berkolaborasi dengan berbagai komponen lainnya–perlu terus merawat jema’ahnya untuk menjaga kedamaian, dan tidak mudah terpengaruh oleh berbagai ajakan untuk melakukan teror. Hal ini dapat dilakukan secara online maupun offline.
Yanuardi Syukur
Leave a Reply