Amerika Serikat-Israel dan Palestina: Menunggu Kebijakan Trump

Ismail Suardi Wekke
STAIN Sorong & Divisi Riset ISMES

Dengan wacana antarabangsa bahwa kemerdekaan adalah merupakan hak asasi setiap manusia, justru abad 20 masih mewariskan penjajahan. Palestina diantara bangsa yang belum menemukan kemerdekaan dalam mengelola nasibnya sendiri.

Untuk masuk ke wilayah Palestina justru harus diawali dengan gerbang Israel. Sepenuhnya tergantung kepada imigrasi Israel. Jikalau mereka membuka gerbangnya, maka ini berarti pintu Palestina juga terbuka, sebaliknya jika Israel tidak memberi ijin masuk, maka selamanya pintu ke Palestina senantiasa akan tertutup. Nasib Palestina sepenuhnya bergantung kepada penjajah, Israel.

Secara historis, pendudukan Palestina merupakan bagian dari hasil kesepakatan penyelesaian perang Arab-Israel di tahun 1948 melalui gencatan senjata di tahun 1949. Perang Arab-Israel terjadi karena Israel menyerang wilayah Mesir, Yordania dan Syria. Selanjutnya, penyerangan ini berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Hanya saja, wilayah Arab yang direbut Israel dikembalikan, tetapi tidak untuk wilayah Tepi Barat.

Sebelumnya, resolusi PBB nomor 181 pada tahun 1947 menjadi sebuah jalan bagi Israel dalam menguasai wilayah Palestina. Bahkan pada tahun 1967, dalam perang enam hari, Israel justru merampah seluruh wilayah yang menjadi jatah Palestina dan Jerussalem Timur. Sejak penguasaan itu, Israel meguasai kehidupan warga Palestina. Walaupun melalui perjanjian Oslo, 1994, wilayah yang menjadi hak Palestina dikembalikan melalu perundingan damai, hanya saja secara faktual Israel masih berada di wilayah tersebut.

Setelah genjatan senjata itu, 68 tahun berlalu. Namun, Palestina belum juga mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kemerdekaan mereka. Padahal, keterlibatan Amerika Serikat sangat dominan, dari 33 negara yang mendukung resolusi 1947, Amerika Serikat adalah salah satu negara pendukung.

Tidak saja dalam bantuan rutin tahunan Amerika Serikat terhadap Israel yang mencapai jutaan dollar Amerik Serikat, tetapi juga memberikan ijin sepenuhnya bagi pendirian organisasi nonformal AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee). Melalui AIPAC inilah lobi-lobi untuk kepentingan Israel dijalankan oleh para anggota kongres Amerika Serikat pendukung Israel.

Selama delapan tahun pemerintahan Obama, tidak ada kemajuan berarti untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Hanya ada dua “kejadian”, namun kemudian pidato tersebut hilang ditelan masa.

Pertama, 2009 ketika Hillary Clinton yang menjabat sebagai mentri luar negeri menuntut Israel untuk menghentikan pembangunan wilayah Yerusalem dan Tepi Barat. Pidato tersebut hanya bertahan empat bulan, kemudian Partai Demokrat selaku penguasa memilih untuk kembali kepada tahap dimana suasana hubungan Amerika Serikat dengan Israel dipertahankan dengan menghilangkan materi pidato Hillary.

Selanjutnya, kejadian kedua adalah Wakil Presiden Amerik Serikat, Joe Biden, mulai membicarakan untuk perlunya kembali ke persetujuan 1947. Namun, pidato tersebut hanya bertahan enam hari. Melalui diplomasi di Washington Institute dan jamuan makan malam dengan Elie Wiesel di Gedung putih, kejadian tersebut kemudian juga harus berlalu.

Sekarang setelah pergantian presiden Amerika Serikat, muncul pertanyaan rutin “bagaimana nasib Palestina dengan presiden Amerika Serikat yang baru?”. Setelah harapan besar diletakkan ke Obama, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti. Obama lebih memilih untuk mempertahankan hubungan baik dengan Israel berbanding memperjuangkan kepentingan Palestina.

Trump baru saja menduduki tahta. Selama kampanye, selalu menggunakan isu-isu hubungan luar negeri, tetapi itu hanya sebatas China dan Rusia. Khusus untuk Israel, bahkan trump secara retoris ingin mengusulkan peresmian ibukota Israel di Yerussalem.

Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya, Trump merupakan pendukung kelangsungan negara Israel dan tidak mungkin memberikan persetujuan terhadap pendirian negara Palestina. Hanya saja, masih ada waktu sampai empat tahun kepemimpinan Trump untuk membuktikan bagaimana sikap sesungguhnya Trump terhadap Israel dan Palestina. ***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*